Senin, 27 Mei 2024 | 05:56
NEWS

Begini Peran Dunia Pendidikan Pelayaran Menghadapi Era Kapal Laut Tanpa Awak

Begini Peran Dunia Pendidikan Pelayaran Menghadapi Era Kapal Laut Tanpa Awak
Kapal Tanpa Awak Yara Birkeland (Dok Yara Internasional)

ASKARA - Teknologi industri maritim terus berkembang, salah satunya Marine Autonomous Surface Ships (MASS) atau teknologi kapal laut tanpa awak.  

Pertanyaannya adalah, apakah MASS cocok diterapkan di Indonesia? Bagaimana sistem keamanannya? Dan, bagaimana nasib para pelaut nanti dengan kehadiran MASS? 

Pertanyaan itu dijawab Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, Pengamat Maritim dan Pengurus DPP Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) dalam zoominar dan talkshow "Peran Dunia Pendidikan Pelayaran Dalam Menghadapi Era Marine Autonomous Surface Ships (MASS) dan Keterkaitan dengan Keselamatan Pelayaran”, yang digelar di Kampus Politeknik Pelayaran Sumbar, pada Rabu (27/10). 

“Jika topik yang diangkat ini, dibicarakan di kampus-kampus sarat teknologi seperti ITB dan ITS, maka saya akan mengatakan bahwa topik ini sungguh pas. Tapi karena yang mengangkatnya adalah Kampus Politeknik Pelayaran Sumbar, maka saya hendak mengatakan bahwa sebetulnya ini lebih menjadi ancaman bagi taruna/i dan seluruh civitas Politeknik Pelayaran Sumbar," kata dia.

Capt Hakeng mengingatkan, bahwa kampus Politeknik Pelayaran Sumbar didirikan untuk melahirkan pelaut-pelaut tangguh guna mengawaki kapal-kapal niaga di seluruh penjuru dunia. 

"Sedang teknologi MASS ini tujuan akhirnya adalah menghilangkan para pelaut dan digantikan perannya oleh Artificial Intelligence (AI)," ujar Capt Hakeng. 

Kepala Bidang Hukum DPP Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran ini juga menyoroti peta kekuatan negara-negara yang terdapat di International Maritime Organization (IMO). 

Dimana, dewan IMO dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori A yang anggotanya adalah negara-negara yang memiliki interest tertinggi dalam dunia perkapalan. 
Kategori B, negara dengan interest di bidang SeaBorne Trade, serta Indonesia di Kategori C dengan interest di letak geografisnya. 

Menurut Capt Hakeng, para raksasa shipping saat ini berada di kategori A. Sementara, negara-negara yang menjadi sponsor teknologi MASS yakni Denmark, Estonia, Finlandia, Jepang, Belanda, Norwegia, Korsel, Inggris, Amerika. Semuanya, bisa dikatakan mewakili Kategori A.

Berdasarkan data, negara-negara tersebut dan ditambah Indonesia mengalami pertambahan penduduk yakni Denmark -0,01 persen; Estonia -3.40 persen; Finlandia -0.16 persen; Jepang -1.31 persen; Belanda 1.52 persen; Norwegia 1.64 persen; Korsel 2.57 persen; Inggris 3.01 persen; Amerika 5.45 persen; dan Indonesia 12.20 persen.

“Dari sini dapat kita lihat serta amati bahwa patut diduga yang menjadi alasan-alasan negara-negara tersebut mau mensponsori implementasi teknologi ini adalah terkait kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mereka alami. Dan jikapun SDM-nya ada, yang ingin menjadi pelaut sangatlah sedikit," jelas Capt Hakeng. 

Capt Hakeng mencontohkan Norwegia, sebagai salah satu kekuatan di dewan Kategori A. Norwegia merupakan negara yang sangat makmur seperti umumnya negara-negara Skandinavia. 

Terkait keamanan Norwegia dapat dikatakan yang terbaik, bahkan di atas negara Eropa lainnya. Negara dengan populasi hanya 5 juta penduduk ini sudah sedemikian majunya dalam dunia pelayaran. Tapi SDM-nya sangat minim. Maka keberadaan pelaut asing di kapal-kapal Norwegia atau Uni Eropa lebih dilihat sebagai Cash Out devisa negara.  

Jumlahnya sekitar 30 persen dari neraca berjalan sektor transportasi laut. Tentunya bagi negara-negara tidak memiliki romantisme dengan menghilangkan pelaut di atas kapal, karena bukan warga negara Eropa. Maka diciptakanlah MASS, yang pertama di Norwegia dan berlayar di antara Fjord. 

"Buat mereka MASS adalah penyelamat devisa. Sementara buat negara yang memiliki pelaut banyak, MASS adalah bencana apabila di-approve oleh IMO,” tegas Capt Hakeng.

Dikatakan, ada hal yang harus dipertimbangkan sebelum menerapkan teknologi MASS di Indonesia. Penerapan MASS ini harus terlebih dahulu dilengkapi dengan aturan yang jelas. 

“Teknologi kapal tanpa awak harus dipikirkan secara matang penerapannya di Indonesia. Karena masih membutuhkan kajian lebih lanjut terutama berhubungan dengan regulasi, dengan Undang-undang No 17/2008 tentang Pelayaran,” ujar Sekjen Serikat Pekerja Forum Komunikasi Pekerja dan Pelaut Aktif Pertamina ini.

Lantas pertanyaannya, Apakah kehadiran MASS telah sesuai dengan UU Pelayaran tersebut? 

Dalam Bab V, Pasal 8 ayat 1 tertulis, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.  
"Dalam Pasal 8 Ayat 1 UU Pelayaran tersebut jelas dituliskan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. Teknologi MASS ini pastinya bertentangan dengan isi pasal ini,” jelasnya.

Menurut Capt Hakeng, penerapan MASS jika terkait pengawakan kapal tidak sesuai dalam Pasal 135 yang tertulis, “Setiap kapal wajib diawaki oleh awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional".

Kemudian, dalam Pasal 137 ayat 1 juga disebutkan nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih memiliki wewenang penegakan hukum serta bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan.  

“Jika tidak ada lagi nakhoda lalu siapa yang menjadi subjek hukum pasal ini? Bagaimana tugas itu bisa dilaksanakan jika nahkoda tidak ada di kapal? Saya baru membahas keterkaitannya dengan UU Pelayaran, masih banyak aturan lain yang berkaitan langsung dengan pengawakan kapal yang berpotensi ditabrak oleh kehadiran MASS ini,” katanya.

Sebagai Pengamat Keamanan dan Keselamatan Maritim, Capt Hakeng berpendapat bahwa soal keselamatan dan keamanan pelayaran penting diperhatikan mengingat MASS ini tidak ada awak. 

“Bagaimana soal keamanan terhadap serangan terorisme misalnya. Atau pembajakan di tengah lautan. Bagaimanapun kedaulatan pangan, kedaulatan ekonomi maupun kedaulatan Energi Indonesia sangat bergantung kepada kapal-Kapal yang melayari wilayah Indonesia karena Indonesia terdiri dari 17.499 pulau," katanya.

"Jika ada satu mobil tangkap berhenti di sebuah area, maka tidak akan menjadi berita besar di daerah tersebut. Tapi bila ada satu kapal yang ditugaskan untuk melayani daerah 3T berhenti atau mengalami masalah, maka jika tidak dapat ditangani segera akan menjadi berita dan isu nasional,” ungkapnya.

Menurut Capt Hakeng, peristiwa pembajakan kapal laut dengan awak ketika sedang melakukan pelayaran sampai saat ini masih acapkali terjadi. 

Berdasarkan data, sepanjang 2019-2020 tercatat terjadi 65 kasus pembajakan kapal di wilayah Indonesia. Saat ini, kasus penyelundupan narkoba 80 persen masih menggunakan transportasi laut, dapat dibayangkan apa yang terjadi jika kapal-kapal yang melintas adalah MASS. 

Kapal-kapal speed boat para penyelundup narkoba yang memiliki kecepatan 3-4 kali lipat kapal MASS akan dengan mudah menghampiri dan menempelkan narkoba di lambung kapal tanpa terdeteksi untuk kemudian mengambilnya lagi di pelabuhan tujuan. 

"Pola yang sama bisa juga digunakan juga oleh para teroris yang sampai saat ini, isu terorisme masih menjadi momok besar dalam kehidupan berbangsa bangsa Indonesia,” terangnya.

Hal lain yang menjadi kekhawatiran Capt Hakeng, MASS yang dikendalikan dari jarak jauh melalui operator di daratan secara tidak langsung akan menggusur keberadaan dari nahkoda dan anak buah kapal. 

Mengutip data dari Kementerian Perhubungan per tanggal 8 Februari 2021, ada hampir 1,2 juta pelaut Indonesia baik yang bekerja di kapal niaga maupun kapal perikanan. Dari jumlah tersebut, ILO (International Labour Organization) mencatat bahwa Indonesia adalah penyuplai pekerja perikanan terbesar di dunia.

Selain itu, penerimaan negara dari pelaut juga tidak bisa dikatakan sedikit. Tercatat, potensi penerimaan negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp151,2 triliun setahun. 

Perkiraan perhitungan itu didapat dari rata-rata gaji pelaut Indonesia di luar negeri sebesar USD 750 atau setara Rp 10,5 juta per bulan. Jumlah itu dikalikan jumlah pelaut sebanyak 1,2 juta orang per Februari 2021 dan dikalikan 12 bulan.

“Kehadiran MASS bisa mengakibatkan munculnya masalah terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor kemaritiman. Saya mengingatkan, Indonesia akan dihadapkan pada persoalan masa depan, yaitu bonus demografi pada 2030. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. 

Indonesia, tambah Capt Hakeng, perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi dengan peningkatan lapangan kerja. Bukan mengadopsi teknologi yang menghilangkan banyak tenaga kerja. 

"Berapa banyak lulusan sekolah pelayaran setiap tahun? Berapa banyak lulusan Politeknik Pelayaran Sumatra Barat tahun 2021 ini? Akan dikemanakan mereka jika teknologi MASS ini diterapkan di Indonesia? Dengan bonus demografi yang segera dinikmati bangsa Indonesia," tambahnya.

Semua pihak, lanjutnya, harus segera menyadari untuk bisa mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi, dan bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisir jumlah pekerja," tuturnya.

"Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia," pungkasnya. 

Komentar