Senin, 29 April 2024 | 18:58
NEWS

Duka Iringi Lenyapnya Hutan Adat Papua

Duka Iringi Lenyapnya Hutan Adat Papua
(Bbc/Greenpeace)

ASKARA - Hamparan hutan hujan terluas di Asia yang berada di Papua menghadapi ancaman serius dari pembukaan lahan demi perluasan kebun kelapa sawit. 

"Kami jaga hutan ini dengan baik dan kami tidak pernah bongkar hutan. Tapi orang dari luar datang dan merusak hutan, buat saya itu luka. Saya selalu menangis, saya sedih kenapa hutan kami dan alam Papua yang begini indah yang Tuhan ciptakan untuk kami (dirusak)," kata Elisabeth Ndiwaen, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perusahaan Korea bernama Korindo adalah salah satu perusahaan sawit dengan lahan terluas di pedalaman Papua. Mereka telah membuka sekitar 60.000 haktare hutan di atas lahan konsesi yang diberikan pemerintah dengan luas setara Kota Seoul. Korindo ditengarai melanggar hukum dengan membakar lahan, namun mereka membantah tudingan tersebut. 

Dilansir BBC Indonesia, investigasi visual oleh Forensic Architecture dan Greenpeace menyelidiki hal itu. 

"Kami mempunyai foto-foto dan rekaman video yang menunjukkan api serta kepulan asap muncul dari lahan itu. Namun belum jelas apakah pembakaran tersebut disengaja atau tidak. Itulah pertanyaan yang akhirnya muncul. Berawal dari bukti visual tersebut kami memulai penelitian kami," jelas peneliti Forensic Architecture Samaneh Moafi.

Video udara yang diambil oleh Greenpeace Internasional menunjukkan tumpukan kayu terbakar. Berdasar petunjuk visual, peneliti menggunakan sistem geolokasi dan menemukan kebakaran terjadi di konsesi Korindo. Mereka kemudian menilik data citra satelit pada 2011 ketika kawasan itu masih hutan belantara dan mendeteksi pola pembukaan lahan dari hasil citra satelit. 

"Pola dan arah pembersihan lahan sangat jelas terlihat bergerak dari bagian tengah kawasan menuju timur," kata Moafi. 

Mereka kemudian menambahkan data titik api dari satelit NASA dan memadukan keduanya dalam periode waktu yang sama.       

"Pola, arah dan kecepatan munculnya titik-titik api sangat sesuai dengan arah, pola dan kecepatan pembukaan lahan di area konsesi. Ini adalah bukti bahwa kebakaran lahan terjadi secara disengaja. Jika api berasal dari luar area konsesi atau terjadi karena kondisi cuaca yang kering pola kebakarannya akan bergerak dengan arah yang berbeda," papar Moafi. 

Greenpeace mengatakan, investigasi ini penting untuk penegakan hukum pembukaan lahan yang ilegal.

"Dalam Undang Undang Lingkungan Hidup dan Undang Undang Perkebunan di Indonesia hal itu tidak dibenarkan. Tidak diperbolehkan atau melanggar dari hukum apabila ada perusahaan menggunakan api. Karena menggunakan api adalah cara termurah bagi perusahaan untuk pembukaan lahan. Dalam investigasi ini kami ingin menunjukkan bahwa mereka terbukti menggunakan api dalam pembukaan hutan,"  jelas Kiki Taufik dari Greenpeace Indonesia.

Korindo bersikukuh bahwa pembukaan lahan dilakukan menggunakan alat berat, dan api yang muncul di area konsesinya terjadi akibat kemarau panjang. Korindo mengklaim kebakaran dipicu oleh warga sekitar yang melakukan perburuan tikus tanah.        

Namun warga sekitar area konsesi di Kampung Tagaepe dan Nakias menuturkan kisah berbeda.

"Kebakaran sudah terjadi bertahun-tahun bermula saat mereka mulai membuka lahan. Batang-batang kayu mereka kumpulkan terus ditumpuk sampai tinggi baru mereka siram pakai solar lalu dibakar. Tahun 2016 baru selesai," kata Sefnat Mahuze, salah seorang warga.

"Langit tertutup asap kalau sedang terjadi pembukaan lahan. Sisa-sisa kayu yang tidak dipakai dibakar. Tertutup langit di sini (oleh asap). Di sini penuh asap, apalagi kalau sudah sore langit akan menjadi gelap," tambah warga bernama Esau Kamuyen.

Area yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi hamparan kebun kelapa sawit, bahan yang banyak digunakan dalam makanan dan kosmetik.

Korindo mengaku telah menciptakan lapangan pekerjaan dan membawa kesejahteraan di wilayah itu. Namun marga pemilik ulayat berduka atas hutan adat yang hilang. 

"Saat saya berjalan dari divisi satu sampai divisi 15 saya selalu menangis. Saya bertanya di mana saya punya nenek moyang roh leluhur ini tinggal di mana kalau hutan saya sudah dibongkar habis. Itu yang saya alami," tutup Elisabeth Ndiwaen.        

Komentar