Minggu, 28 April 2024 | 22:19
OPINI

Ikhlas Menjalani, Pasrah Total

Ikhlas Menjalani, Pasrah Total
Ilustrasi. (Pexel)

Dari kecil saya mendengar kata ikhlas, sering digunakan orang dewasa untuk menenangkan seseorang yang sedang mengalami kesusahan dan kehilangan.

Sedang pasrah total saya dapatkan di sekolah minggu saat masa kecil juga. Nampaknya saat itu saya paham arti dari kedua kata di atas. Karena saking seringnya diucapkan.

Dalam kehidupan berkeluarga. Ada saja masalah-masalah dari yang kecil hingga besar seperti ombak tsunami yang sanggup meluluhlantakkan kehidupan. 

Ya... saat itu anak semata wayang ini beranjak remaja menggoda luar biasa. Hingga tidak tahu lagi harus berbuat apa. Diperlakukan keras dia makin melawan dan menjauh, dielus dia makin tidak tahu.

Dalam kondisi kebingungan yang dalam, hati dan pikiran sudah hampir tidak tahan. Putus asa, kepasrahan itu memaksa pada kesadaran.

Dalam kebuntuan yang pasrah, ingatan ini terbawa bahwa tiap manusia dilahirkan memiliki jalannya sendiri, katanya semua sudah tertulis bukan?

Dan di saat itu juga saya merasa terhenyak terbangun dari arti memiliki dan kemelekatan.

Seperti mimpi di siang bolong, saya tersadarkan bahwa sesungguhnya "anak bukanlah milik saya". 

Meski dia lahir dari rahim saya. Ya saya hanya mendapat kepercayaan melahirkannya, mendidiknya dengan baik, setelahnya saya hanya bertugas mengarahkan dan mendampinginya. 

Mulailah saya menata hati dan pikiran untuk pasrah secara total. Tiba-tiba terpikir mengembalikan anak ini pada yang empunya kehidupan. 

Saya katakan dalam doa "Gusti saya telah menerima amanah-Mu, telah juga berusaha untuk mendidik dan memberikan pendidikan padanya, saat ini saya merasa sudah tidak mampu, saya tidak tahu jalan yang harus kutempuh. Saya kembalikan anak ini pada tangan-Mu. Engkau yang memiliki segala rencana dan cara-Mulah yang terbaik baginya, kukembalikan dia pada-Mu, dan saya percaya jalan-Mu pasti menuju pada kebaikan".

Terbayang dalam pikiran saya, anggaplah saya sedang mengalami suatu masalah besar dalam suatu perkara yang melibatkan hukum dan keputusan terjeleknya saya dipenjara, saya tidak paham tentang hukum. 

Tentunya saya membutuhkan seorang pengacara handal terpercaya dengan syarat menceritakan segala yang terjadi dengan kejujuran apa adanya, dan saya tidak mau masuk penjara karena memang saya tidak melakukannya. Itu saja, titik.

Tentunya saya harus percaya dan pasrah total pada sang pengacara, dan apa yang terjadi kalau tiap hari saya bertanya karena kawatir, bagaimana perkembangannya, dan apa jadinya kalau saya juga ikut ngatur? Dan mengatakan "wah pak pengacara mestinya begini dong kenapa begitu, nanti jangan-jangan bapak salah langkah dan saya diputuskan bersalah" dan sebagainya.

Bila itu saya lakukan, terbayangkah apa jawaban pengacara itu?

Tentunya, lama-lama dia akan jawab. "Kalau begitu tidak perlu minta tolong saya, selesaikan sendiri saja!"

Nah makin runyam kan kalau seperti itu???

Saya selalu membuat perumpamaan sederhana, Gusti saya ibaratkan seperti sang pengacara dalam cerita ini. Seringkali Gusti atau Tuhan saya umpakan sebagai seorang ayah.

Setelah itu saya lakukan saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi mengomentari ataupun menegur apapun yang dia buat. Saya hanya diam melihat. Saya tidak ingin ikut campur dalam Jalan-Nya karena saya percaya dan sudah memasrahkannya. 

Sebagai manusia, yang memiliki akal dan rasa, ini adalah godaan berat untuk bisa bertahan diam, sesuai janji tanpa ikut campur walaupun kita melihat dengan mata kepala sendiri.

Diam di sini bukan berarti tidak peduli ataupun ngambek, kalau anak ngajak bicara saya tetap jawab. Tetap memenuhi kewajiban sebagai orang tua, tetap peduli tapi tidak mencampuri.

Setelah beberapa minggu, apa yang dihasilkan sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba dia berubah dengan sendirinya. Tanpa saya harus ikut campur dalam mengatur hidupnya. Tangan Tuhanlah yang mengerjakannya. Dan dia menemukan jalan untuk penempaan dirinya. 

Semoga di manapun berada engkau sukses nak, sesuai dengan jalan yang diberikan-Nya. Teruslah belajar dalam kehidupan.

Di sinilah saya mulai memahami arti dari pasrah total atau ikhlas. Untuk menjalaninya sungguh tidak semudah yang orang ucapkan, dan itu semua wajar karena kita memiliki pikiran dan rasa yang diliputi kekhawatiran. Khawatir akan hari esok yang tidak pernah kita ketahui. Hidup memang misteri. Resah, galau itu sudah bawaan dan memang suka bikin kacau.

Yang perlu diingat, setiap yang kita ucapkan adalah doa, apapun janji ataupun permintaan yang telah diucapkan bersungguh-sungguhlah untuk melakukannya. 

Kalau kita suka ingkar, mana mungkin bisa di percaya?. Manusia saja jadi tidak percaya apalagi Tuhan. Sesederhana itu cara berpikir saya.

Meski saya sudah pernah mengalami hal ini tetaplah tidak mudah untuk merasa ikhlas ataupun pasrah total. Karena saya tetap manusia biasa saja. Tetap memiliki rasa kawatir, hanya saja saya menjadi lebih ringan menjalaninya.

Untuk itu, saya juga bisa lebih hati-hati dalam menggunakan dua kata di atas untuk menghibur yang sedang kesusahan karena itu jadi menyedihkan dan bisa melukai.

Sangat sulit untuk diterima apalagi diwujudkan bagi orang yang sedang menemukan kebuntuan, mengalami kehilangan dan terjebak dalam keputusasaan.

Semua butuh proses dan biarlah tiap manusia berproses sesuai tingkatannya. Maka tidak perlu menilai kehidupan orang lain karena belum tentu kita bisa lebih baik saat pada kondisi kesulitan yang sama.

Pasrah total bukan berarti tidak melakukan apa-apa, manusia tetap wajib berusaha. Berusahalah dengan baik. Selebihnya biarlah menjadi urusan-Nya

Apapun yang kita alami bukan untuk disesali dan apa yang kita lihat pada orang lain bukan juga untuk dikomentari, cukup untuk direnungkan guna pendewasaan diri. Tidak satu manusia pun lebih baik dari yang lain.

Buku kehidupan itu sedang divisualisasikan, tugas kita hanya belajar. Belajar mengamati, memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik dan tetaplah mensyukurinya.

Renungan 2008. 

Komentar