Rabu, 15 Mei 2024 | 08:21
COMMUNITY

Dua Pelajar BPK Penabur Mendaki Gunung Tertinggi Eropa

Dua Pelajar BPK Penabur Mendaki Gunung Tertinggi Eropa
Matthew dan Jonathan beserta tim saat mendaki Gunung Elbrus di Rusia (Istimewa)

ASKARA - Dua pelajar BPK Penabur, Jakarta, Matthew Richard dan Jonathan Philip ditemani orang tuanya yang juga pendaki serta pendaki Indonesia lain melakukan pendakian ke gunung tertinggi di Eropa, Elbrus yang terletak di Rusia.

Mereka memulai pendakian Gunung Elbrus dari Desa Terskol pada 29 Agustus 2019 setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta hingga mendarat di Bandara Mineralnye Vody dilanjutkan jalan darat selama tiga jam lebih menggunakan mobil. Saat perjalanan ke Terskol, cuaca dingin Rusia mulai terasa karena sudah malam dan tidak tersedia heater dalam mobil.

"Setelah bermalam, keesokan paginya para guide memutuskan agar kami melakukan trekking dan aklimatisasi ke Azau Waterfall yang berjarak sekitar 16 kilometer dari tempat kami bermalam. Azau Waterfall adalah sebuah air terjun yang berada di ketinggian 3100 mdpl," jelas Matthew. 

Medan jalan menuju Azau Waterfall relatif mirip dengan gunung-gunung di Indonesia, hanya saja di Rusia suhunya lebih dingin dengan kelembapan lebih kering. Dan di seluruh perjalanan, mereka mendapat pemandangan indah Pegunungan Kaukasus. 

"Kami berhasil sampai di Azau Waterfall pada pukul satu siang. Ketika waktu sudah mulai menunjukkan pukul tiga sore suhu mulai terasa dingin. Kami pun akhirnya sampai di hotel pada pukul lima sore," jelas Jonathan yang duduk di kelas IX SMPK 4 BPK Penabur. 

Pada hari berikutnya, Jonathan dan Matthew kembali melakukan trekking ke Gunung Cheget untuk aklimatisasi. Gunung Cheget adalah gunung didekat Elbrus dengan ketinggian 3600 mdpl. Perjalanan ke gunung Cheget menjadi lebih mudah karena adanya chairlift yang membawa pendaki selama kurang lebih 15 menit. Menaiki chairlift dapat memotong panjang jalur trekking sehingga dapat menikmati pemandangan pegunungan Kaukasus yang sangat indah, walaupun agak deg-degan karena minimnya alat pengaman di chairlift.

Usai turun dari chairlift, para pendaki memulai perjalanan ke Puncak Cheget. Di jalur pendakian ke Cheget, ritme berjalan sudah mulai diatur agar aklimatisasi bisa berjalan dengan baik. Cuaca saat pendakian pun mendukung, dengan banyaknya sinar matahari. Setelah berjalan selama kurang lebih dua jam, para pendaki sampai juga di Puncak Cheget. 

"Dari Puncak Cheget terlihat pemandangan Elbrus dan Pegunungan Kaukasus yang sangat indah. Setelah menghabiskan waktu 15 menit di Puncak Cheget kami pun turun. Pada hari itu, kami mengalami AMS ringan yang dikarenakan kurang mengonsumsi air. Di cuaca dingin, badan kami jarang merasakan haus. Padahal, dengan diterjang cuaca dingin, kita harus menambah lagi porsi konsumsi air kita," jelas Matthew pelajar kelas XI SMAK 5 BPK Penabur.

Esok harinya, Matthew dan Jonathan bersiap untuk pergi ke Elbrus Basecamp yang berada di ketinggian 3800 mdpl. Rute ke Elbrus Basecamp terletak di daerah Azau yang berjarak 15 menit dari Terskol. Ketika tiba di Azau, Matthew dan Jonathan menyewa beberapa barang yang diperlukan untuk summit attack seperti crampon, ice axe, snow gaiter, ultrawarm down jacket, ski goggles, double boots, dan mitten.

"Setibanya di basecamp kami langsung berbenah dan menyiapkan barang-barang untuk keesokan harinya. Suhu di basecamp Elbrus sudah mulai menembus nol derajat celcius. Pada malam hari bisa minus 10 sampai minus 20 derajat celcius," ujar Matthew.

Saat makan malam, para guide memberikan briefing untuk aklimatisasi ke Pashtukov Rocks, yang berada di ketinggian 4800 mdpl. Ketinggian 4800 mdpl hampir sama dengan Carstenz Pyramid, di Papua. Aklimatisasi ke Pashtukov Rocks sangat penting karena Pashtukov Rocks sebagai tolak ukur kekuatan dan ketangguhan para pendaki untuk sampai ke puncak. 

"Keesokannya kami bangun pagi sekitar jam 05.30 untuk menyiapkan barang kami dan belajar memasang crampon. Crampon sangat diperlukan karena medan yang akan dilalui adalah salju, dan jika tidak memakai crampon pasti akan sering terpeleset," ujar Jonathan.

Dijelaskan Jonathan, mereka mulai perjalanan pukul tujuh pagi dari basecamp. Perbedaan elevasi antara basecamp dan Pashtukov Rocks sangat singnifikan yaitu 1.100 meter, dan jarak yang harus ditempuh agar sampai ke Pashtukov Rocks juga tidak pendek. Perjalanan ke Pashtukov Rocks sudah mirip dengan summit attack, medan dipenuhi salju, suhu sudah sangat dingin disertai angin kencang. 

"Pada ketinggian 4800 mdpl harus sangat memerhatikan pace dan waktu istirahat karena jika pace terlalu cepat maka kita bisa mudah terkena AMS (Acute Mountain Sickness). Dan jika waktu istirahat terlalu lama, badan akan menjadi dingin karena kehilangan panas tubuh," papar Jonathan.

Jonathan dan Mathew akhirnya sampai di Pashtukov Rocks setelah berjam-jam berjalan. Titik ini adalah sebuah tempat di mana ada batu-batu besar dinamakan Pashtukov karena orang yang menemukan tempat itu pertama kali adalah seorang tentara bernama Pashtukov. Sesampainya di Pashtukov mereka beristirahat selama 15 menit lalu turun ke titik tempat Ratrak menjemput untuk kembali turun ke basecamp.

Dalam kondisi badan yang lelah dan kedingingan, para guide memutuskan bahwa ini adalah waktu yang baik untuk mempelajari cara self rescue dengan menggunakan ice axe. Para pendaki dibawa ke ujung bukit salju yang ada turunannya ke area yang lebih rendah lalu diminta untuk menjatuhkan diri. 

"Setelah menjatuhkan diri dan meluncur ke bawah kami diajarkan untuk memakai ice axe sebagai tumpuan dan menusuk es agar kita tidak terus jatuh meluncur ke jurang," jelas Mathew.

Para pendaki kembali ke basecamp usai melakukan latihan untuk istirahat dan makan malam. Saat makan malam, para guide memonitor ramalan cuaca di kawasan basecamp dan puncak Elbrus. Dan melihat hasil ramalan serta membandingkan ramalan dari berbagai sumber. Akhirnya diputuskan untuk melakukan summit attack dua hari setelah itu. 

Pada hari yang telah ditentukan alarm berbunyi pukul satu, seluruh tim ekspedisi terbangun dan mulai mempersiapkan alat-alat untuk menuju puncak. Karena perkiraan suhu sangat dingin mencapai minus 25, maka baju yang dipakai adalah baselayer polar, polar jacket, ultrawarm down jacket, dan windbreaker jacket. 

Di tengah cuaca yang ekstrem dingin, semua pendaki keluar dari hut seraya memakai crampon, mengikat ice axe serta mengatur trekking pole dan berjalan ke Ratrak yang siap mengantar ke titik pendakian antara basecamp dan Puncak Elbrus. 

Setelah berjalan menembus dinginnya malam akhirnya tiba di titik awal summit attack dan memulai perjalanan menuju Puncak Elbrus dalam keadaan yang masih gelap gulita.

"Suhu terasa sangat dingin menusuk tulang dan persendian disertai oleh angin yang sangat kencang. Dalam beberapa menit, water bladder membeku menjadi es batu dan kami hanya bisa minum dari termos," ujar Mathew. 

Dijelaskan Mathew, mata juga terasa perih jika tidak memakai ski goggles yang dikarenakan oleh terjangan angin dingin. Setelah 45 menit berjalan, salah satu pendaki dari Indonesia terpaksa turun karena jari-jari tangannya terasa sakit menusuk dan mulai membeku. Keputusan itu diambil karena tidak mau berisiko kehilangan jarinya. Akhirnya dia kembali ke titik awal pendakian di 5.100 mdpl. 

"Angin dingin yang menerjang kami sangatlah dingin. Setelah 30 menit berjalan, telapak kaki dan tangan mulai merasakan sakit menusuk tulang karena terpaan angin dan suhu ekstrem 25 derajat di bawah nol walaupun sudah memakai sarung tangan khusus dua lapis," jelas Jonathan.

Para pendaki akhirnya sampai di Saddle setelah beberapa jam berjalan. Perbedaan elevasi Saddle (5.420mdpl) dan Puncak Elbrus (5.642mdpl) tidak terlalu jauh, hanya 200 m. Suasana di Saddle sangatlah dingin sampai kamera pun tidak bisa bekerja. Di Saddle, salah satu pendaki dari Indonesia merasa sesak dan kelelahan yang ekstrem. Akhirnya diputuskan bahwa semua harus turun karena tidak aman jika orang itu turun dengan sendiri ke bawah. 

Di tengah perjalanan turun, ada rombongan lain yang sedang naik ke atas dan menawarkan Jonathan dan Mathew untuk ikut ke atas lagi. Namun karena sudah terlalu lelah dan terlanjur turun, mereka memutuskan untuk tidak ikut ke puncak. Sementara itu berapa orang dari tim Indonesia memutuskan untuk ke puncak. 

"Setelah turun, kami dijemput Ratrak di suatu titik dan kami akhirnya turun ke basecamp. Kami pun bermalam di basecamp untuk malam terakhir kami di sana," jelas Jonathan.

Keesokan harinya, Jonathan dan Mathew ditemani orang tuanya harus membereskan seluruh peralatan, mengemas tas dan turun kembali ke Azau untuk kembali ke Terskol karena harus segera ke Bandar Udara Mineralye Vody untuk kembali ke Moskow. 

Semoga Jonathan dan Mathew di masa mendatang dapat kembali mengukir prestasi karena sebelumnya di bulan Maret 2019 mereka telah berhasil mendaki Puncak Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania dan berhasil meraih rekor MURI sebagai tim pelajar termuda yang mendaki Kilimanjaro.

Komentar