Jumat, 26 April 2024 | 18:48
OPINI

Surat untuk Pemda Papua: Belajar dari Italia

Surat untuk Pemda Papua: Belajar dari Italia
Ilustrasi. (Getty Images)

ASKARA - Pace mace. Selamat jumpa kembali, salam dari Roma, Italia. Saya mau bagi sedikit kisah singkat bagaimana pentingnya peran pemerintah menyikapi penyebaran virus corona. 

Pada tanggal 27 Februari 2020 ketika penyebaran virus corona di Italia baru mencapai 400 kasus dan puluhan kematian, salah satu pimpinan partai yang berkuasa di Italia, tetap mendorong masyarakat "untuk jangan mengubah kebiasaan kita." Apa artinya? mungkin artinya bahwa penduduk tidak usah takut atau panik dan tetap beraktifitas seperti biasa.

Tidak sampai 10 hari kemudian, ketika jumlah korban sudah mencapai 5.883 infeksi dan 233 orang meninggal, bos partai Nicola Zingaretti memasang video baru, kali ini dia memberi tahu Italia bahwa ia juga positif terkena virus corona. Pemerintah pun bergegas mengunci wilayah-wilayah di utara Italia yang paling parah, tempat di mana ratusan jenazah bertumpuk di sana. 

Penyebaran pun makin menggila, bahkan bisa memakan korban mencapai 400 orang per hari. Kebanyakan korban adalah orang berusia lanjut dan mereka yang memiliki riwayat kesehatan yang buruk. 

Pada Jumat malam, pihak berwenang memperketat lockdown atau pemblokiran secara nasional, menutup taman, melarang kegiatan di luar ruangan termasuk berjalan atau jogging jauh dari rumah. Toko-toko dan pusat nongkrong ditutup kecuali apotik dan toko makanan. Siapapun yang melanggar aturan pemerintah ini akan dikenakan denda lebih dari tiga juta rupiah.

Pada hari ini, pemerintah Italia melaporkan bahwa wabah epidemi virus corona telah menyerang 63.927 penduduk Italia. Dari jumlah tersebut, 7.432 dinyatakan sembuh, sedangkan yang meninggal dunia berjumlah 6.077 orang. Kenyataan ini memosisikan Italia melampaui Tiongkok sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi dan menjadi pusat pandemi corona tertinggi di dunia.

Pace mace, kalimat seperti "jangan mengubah kebiasaan kita" atau biarkan hidup kita berjalan seperti biasanya, tidak usah takut, cukup dengan doa saja, tanah kami tanah terberkati jadi kami aman, kenapa harus sibuk, santai saja, ngapain panik, dan lain-lain adalah kalimat yang tidak bertanggung jawab kepada Tuhan, diri kita sendiri, dan sesama. 

Dengan kalimat-kalimat seperti ini, kita mendukung penyebaran virus dan lebih parah lagi, kita bertindak seperti soft killer yaitu membunuh orang lain secara halus, bisa jadi itu adalah anggota komunitas gereja kita, tokoh agama kita, ibu kita, anak kita, atau diri kita sendiri. Kalimat-kalimat di atas adalah bentuk dari kesombongan manusia (kebodohan), di mana kita secara sadar ikut menyesatkan orang lain. Apalagi penyebaran virus ini belum bisa diprediksi dan dapat menyerang balita hingga orang tua.

Harapan saya sederhana. Jika virus ini masuk ke Papua, tempat di mana saya hidup dan bekerja, orang-orang yang saya kasihi sudah mempersiapkan diri dengan baik.

Jika virus ini masuk ke Papua, sampel virus tidak perlu dikirim ke Jakarta karena bisa diuji di sekian laboratorium di kota-kota besar Papua.

Jika virus ini masuk ke Papua, tim medis tidak dibayangi ketakutan karena memikirkan perlengkapan pelindung yang tidak memadai lagi.

Jika virus ini masuk ke Papua, pimpinan lembaga keagamaan tidak sibuk berbicara tentang keselamatan, tetapi memperjuangkan keselamatan bersama dengan berbagai cara yang nyata.

Jika virus ini masuk ke Papua, sudah ada koordinasi, sosialisasi, dan kontrolisasi dari tingkat propinsi sampai ke pedalaman.

Mari buka mata, tidak perlu bergandengan tangan (karena virusnya menular), kita lawan penyebaran virus ini dengan cara yang tepat dan selebihnya kita serahkan pada Allah yang berkuasa atas hidup kita. Semoga tidak ada salah satu suku atau kampung yang punah hanya karena kita tidak berani mengubah kebiasaan kita. Salam dan mari berbenah segera!

(Penulis adalah seorang pastor dan pelajar dari keuskupan Agats Asmat, Papua. Bermukim di Roma)

Komentar