Sabtu, 27 April 2024 | 12:27
OPINI

Tangan Terbuka Media

Di Kamis Putih itu

Di Kamis Putih itu
Pembasuhan kaki para murid oleh Yesus Kristus (Dok Freepik)

Oleh: Pdt. Yoel M Indrasmoro *

ASKARA - Marilah kita layangkan mata hati kita pada peristiwa di Kamis Putih itu! Apakah makna di balik peristiwa itu? Cara sederhana untuk melihat makna di balik peristiwa adalah melihat konteks peristiwa itu.

Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Sementara itu sebelum Hari Raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya.” (Yoh. 13:1).

Dua Konteks

Demikianlah konteks kisah pembasuhan kaki dan perjamuan malam. Ada dua konteks di sini. Konteks pertama berkait dimensi waktu. Konteks kedua berkait hubungan pribadi antara Yesus dan para murid-Nya.

Konteks pertama: ”Yesus telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa.” Berkait waktu, penulis menyatakan kembali bahwa Yesus—Allah Yang Menjadi Manusia—berkuasa atas waktu. Dia sungguh mengenal dan menguasai waktu. Bagi Guru dari Nazaret tak ada istilah praduga, asumsi, atau prakiraan. Yang ada hanyalah pengetahuan akan waktu. Dia memang tahu bahwa saat-Nya sudah tiba. Sebab waktu adalah milik-Nya.

Perhatikan kata ”saat-Nya”! ”Nya” di sini merupakan bentuk terikat yang merupakan varian pronomina persona ia/dia dan pronomina benda yang menyatakan milik. Saat-Nya berarti saat Yesus. Penggunaan pronomina di sini bukan tanpa maksud.

Mungkin kita masih ingat, ketika mengawali pekerjaan-Nya, di tengah perjamuan kawin di Kana, Yesus berkata kepada Sang Bunda, ”Mau apakah engkau dari Aku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Agaknya ada kaitan di antara dua kejadian itu—antara ”saat-Nya” dan ”saat-Ku”. Jelas sekali, Yesus tidak dikuasai, tetapi menguasai waktu. Sebab waktu adalah milik-Nya.

Kita tentu berbeda dengan Yesus. Kita memang bisa memiliki waktu. Namun, kita ketika waktu tidak digunakan, dia akan berjalan dan kita tak berkuasa mencegahnya. Akhirnya, kita malah kehilangannya. Sehingga, selagi ada waktu, kita perlu memiliki kepekaan-kepekaan untuk mengisi waktu tadi sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, dan setepat-tepatnya.

Konteks kedua berkait dengan rasa—perasaan Yesus terhadap para murid-Nya. Penulis Injil Yohanes menyatakan bahwa Yesus sungguh-sungguh mengasihi para murid-Nya, di kehidupan kini dan kehidupan mendatang. Dari perspektif ini, Yohanes hendak menyatakan bahwa kasih Yesus kepada para murid-Nya bersifat kekal. Kasih-Nya tak lekang oleh waktu. Kasih-Nya senantiasa present. Sebab bagi Yesus semua waktu adalah masa kini.

Namun, kehidupan ragawi Yesus, Allah Yang Menjadi Manusia, terbatas. Sebagaimana Manusia Sejati, Raga Yesus dibatasi oleh ruang. Sehingga Yesus merasa perlu menggunakan waktu dan ruang yang tersisa itu untuk mendemonstrasikan kasih-Nya kepada para murid-Nya. Di sinilah kedua konteks itu berkaitan erat: konteks waktu dan kasih.

Yesus tahu telah tiba bagi-Nya untuk menuntaskan misi-Nya. Waktu-Nya telah menjelang. Nah, waktu yang tinggal sedikit itu diisi-Nya dengan mendemonstrasikan kasih-Nya kepada orang-orang milik-Nya.

Lebih dari Sejuta Kata

Mengapa? Tidak cukupkah dengan kata-kata. Tidak cukupkah dengan khotbah tentang kasih? Untuk orang sekaliber Yesus—yang sering membuat orang terpukau dan terpaku dengan pengajaran-Nya yang penuh kuasa itu—tentu tak sulit berkhotbah tentang kasih. Namun demikian, Yesus agaknya juga paham bahwa tindakan lebih dari sejuta kata. Dan karena itulah Dia bertindak!

Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain linen dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah baskom dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.” (Yoh. 13:4-5).

Perhatikanlah, begitu banyak kata kerja yang digunakan penulis. Yesus bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.

Bangun, menanggalkan, mengambil, menuangkan, membasuh, dan menyeka—semua kata kerja ini memperlihatkan bagaimana Yesus berupaya mengisi waktu yang dimiliki-Nya itu. Dia tidak bertopang dagu atau menunggu-nunggu sekiranya ada seorang murid yang tergerak membasuh kaki mereka semua? Tidak, Yesus bertindak. Dia bertindak di dalam waktu, yang sejatinya adalah milik-Nya sendiri.

Tindakan Yesus tentunya membuat para murid terperangah. Tentunya, mereka merasa tak enak hati, menyaksikan Sang Guru memutuskan serangkaian tindakan itu. Sang Guru tidak memerintahkan salah seorang murid untuk membasuh kaki mereka semua. Tidak. Dia sendiri yang melakukannya.

Dalam manajemen modern, di mana orang berpikir dan bertindak menurut tugas dan tanggung jawab yang diembannya, wajarlah jika seorang pemimpin memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, itu tidak diperbuat Yesus. Kepemimpinan di mata Yesus adalah keteladanan.

Pada masa itu—yang biasa terjadi—pelayanlah yang membasuh kaki tuannya atau muridlah yang membasuh kaki gurunya. Namun, Yesus membongkar pemahaman itu dan membangun pemahaman baru: Tuhan pun boleh, bahkan harus, membasuh kaki hamba-Nya; guru pun boleh, bahkan mesti, membasuh kaki para muridnya. Pada titik ini Yesus menampakkan diri sebagai pribadi merdeka.

Ketika Petrus memohon agar Sang Guru membasuh tidak hanya kaki, tetapi juga tangan dan kepala, Yesus menolak. Yesus tidak mau dipaksa. Ini contoh dari kemerdekaan sebuah tindakan. Yesus merdeka dalam bertindak, tapi bukan berarti tanpa prinsip. Kemerdekaan tindakan-Nya itu ada dasarnya. Tidak asal bertindak. Juga tidak asal beda. Bukan. Bukan itu! Dalam pandangan Yesus, siapa pun yang telah mandi, tak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.

Teladan

Teladan dalam peristiwa pembasuhan kaki ini bukanlah pada pembasuhan kaki itu sendiri, tapi dalam pikiran, sikap, dan tindakan Yesus sebagai manusia merdeka.

Menarik disimak peristiwa pembasuhan kaki ini dilakukan Yesus pada perjamuan Paskah. Bagi bangsa Israel, perayaan Paskah merupakan perayaan kemerdekaan mereka sebagai suatu bangsa. Mereka biasa memperingatinya dengan cara menyembelih anak domba jantan, tidak bercela, dan berumur setahun. Darah anak domba jantan itu diambil sedikit dan dibubuhkannya pada kedua tiang pintu dan ambang atas. Dagingnya dimakan bersama roti tidak beragi dan sayur pahit. Memang bukan suatu yang lazim bagi kebanyakan bangsa.

Namun demikian, makna dari makan Paskah ini ialah bahwa kemerdekaan Israel bukanlah direbut dengan perjuangan angkata bersenjata. Allah sendirilah yang turun tangan dalam mengupayakan kemerdekaan Israel. Bagian umat Israel adalah percaya kepada Allah.

Dan pada peristiwa makan Paskah itu, Yesus memperlihatkan pikiran, sikap, dan tindakan sebagai manusia yang telah dimerdekakan Allah. Bagi Yesus, kemerdekaan bukanlah melulu berorientasi pada hak, tapi lebih berorientasi pada kewajiban. Dan kewajiban manusia merdeka ialah melayani sesama. Melayani adalah ciri manusia merdeka.

Orang yang senantiasa masih ingin dilayani sesungguhnya bukan manusia merdeka. Sebab, hal itu berarti dia masih menggantungkan diri kepada orang lain. Di mana kemerdekaannya, jikalau dia selalu ingin dilayani?

Perintah Baru

Inilah perintah baru itu: menjadi manusia Merdeka, menjadi pelayan bagi sesama! Menarik pula disimak, menjadi manusia merdeka itu diperlihatkan pula dengan cara saling berbagi makanan. Dan itu pulalah yang dikenang dan diragakan dalam Malam Kamis Putih.

Tindakan berbagi makanan merupakan bukti kasih. Dalam sebuah perjamuan kita akan memberikan yang terbaik bagi orang lain; dan bukan sisa. Apa yang kita makan; itu jugalah yang kita tawarkan kepada mereka. Dalam sebuah perjamuan tidak ada diskriminasi. Para peserta perjamuan itu memakan makanan yang sama dalam suasana sukacita. Sejatinya, perjamuan itu merupakan bukti kasih!

Pada Kamis Putih malam itu ada dua peristiwa besar yang terjadi. Peristiwa pertama ialah Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Peristiwa itu dilanjutkan dengan sebuah perintah agar para murid saling membasuh kaki. Pembasuhan kaki melambangkan kesedian untuk melayani.

Peristiwa kedua ialah makan bersama. Peristiwa itu dilanjutkan dengan sebuah perintah agar para murid saling mengasihi. Jika pembasuhan kaki melambangkan kesediaan untuk melayani. Makan bersama melambangkan kesediaan untuk berbagi hidup. Dan itulah yang akan kita kenang dan lakukan.

Makan bersama semestinya memang berdasarkan kasih. Sehingga perjamuan pada Kamis Putih dinamai Perjamuan Kasih. Mengapa? Sebab berbagi makanan identik dengan berbagi hidup. Makanan merupakan kebutuhan primer manusia. Manusia bisa hidup tanpa sandang dan papan, tetapi tentu sulit hidup tanpa makanan.

Begitu pentingnya makanan, sehingga Masao Takenaka, teolog Jepang, membuat buku yang berjudul Allah adalah nasi. Allah yang adalah sumber hidup itu dianalogikan dengan nasi yang juga adalah sumber hidup. Berbagi makanan berarti berbagi hidup.

Perjamuan Kasih juga memanggil kita untuk mau berbagi makanan kepada sesama yang Tuhan tempatkan di sekitar kita. Berbagi makanan berarti berbagi hidup. Dan berbagi hidup berarti bertindak sebagaimana Allah yang telah memberikan hidup-Nya bagi kita.

Selamat Membasuh Kaki dan Merayakan Perjamuan Kasih! Selamat melayani dan berbagi hidup.


* Pendeta GKJ Rawamangun

Komentar