Senin, 29 April 2024 | 20:06
OPINI

Politik Nilai, Oh Ya O..Ya, Bongkar !!

Politik Nilai, Oh Ya O..Ya, Bongkar !!
Dr. Wahyu Dwi Agung

Oleh:  Dr. Wahyu Dwi Agung, SH, MH, Dosen IAI Tazkia, Peneliti Pusat Studi Islamic Public Policy

ASKARA - Suhu politik memanas. Gerakan  dan gesekan kepentingan memicu suhu itu kian memanas. Intrik, intimidasi mulai bermunculan . Politik senantiasa menciptakan kawan dan lawan. Kawan dirangkul, lawan dipukul, dari sisi manapun. Pilihan koalisi atau oposisi, memiliki konsekwensi. Ujungnya politik adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah uang.

Ini paradigma realita. Boleh juga disebut inklusi politik. Setidaknya itulah pengamatan penulis yang pernah terlibat langsung dalam proses Gerakan politik di tanah air. Berawal dari idealisme ‘etis’ untuk bisa mewarnai system kehidupan bernegara, bergaya dan berlagak sebagai pembaharu. Tetapi kenyataan dan benturan diranah politik yang memang ‘luar biasa’ itu, memerlukan penyikapan yang harus luar biasa juga.

Politik nilai, atau politik etik sudah dipelesetkan menjadi ‘ndasmu etik! ‘ ini fenomena yang harus dikaji secara diametral, beberapa sudut pandang. Tekanan realitas menjadikan pilihan dalam politik kian sempit dan pragmatis. Dukung-mendukung tidak gratis, keluar uang okey ! tapi harus ada hitung-hitungan.

Kosentrasi kapital diarahkan lebih pragmatis, dan lebih jelas, pilihan keluarga, pilihan kerabat adalah rasional. Duit harus bermanfaat-punya arah dan tujuan yang jelas. Anak Caleg jadi caleg, istri caleg jadi caleg, anak ketua partai menjadi caleg dengan nomor urut satu. Jelas !, Demokrasi  meniru mainstream ekonomi, demokrasi kapilatis. Demokrasi cukup satu warna, Kelabu !

Dalam dunia ide, demokrasi dianalogikan bahwa rakyat adalah tangan Tuhan. Rakyat adalah suara tertinggi mewakili suara Tuhan, sehingga orientasi kekuasaan adalah menata sesuai kehendak Tuhan , agar lebih tertata melalui tatanan nilai yang disebut dengan norma atau kaedah. Norma yang hidup dimasyarakat bisa berwujud budaya, agama , kesusilaan, moral, etika . seluruh norma dan kaedah itu kemudian ada yang diatur dan mempunyai kekuatan memaksa yang dimaknai sebagai norma hukum.

Selanjutnya norma hukum memiliki tujuan atau cita hukum ( Rechtsidee) yang dirumuskan setidaknya dalam tiga hal ; cita keadilan ( gerechmatigheid ), cita kemanfaatan ( doelmatigheid) dan cita kepastian ( onrechtmatigheid). Sekali lagi ini hanya dalam dunia ide, ideologis. Para politisi kemudian mencoba menjadi wakil rakyat yang secara ideologis sejatinya  mewakili suara Tuhan, sehinga terminologi bahwa kekuasaan itu adalah amanat menjadi inherent, klop!.

Wajah politisi adalah wajah sang surya- mencerahkan, penuh arif dan kebijaksanaan, mendahulukan hak yang diwakilinya, selalu dalam koridor ‘amanah’ yang absolut harus dipertanggungjawabkan dimakamah non kostitusional. Makamah adil yang penuh keadilan.

Tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi ‘ kekuasan’.  Adagium politik ini sering dijadikan ‘ nilai’ bagi politisi pemuja kekuasaan belaka. Yang menjadikan ruang politik menjadi gelap- pengap tak bercahaya. Nilai politik sebagai kekuasaan yang agung berubah menjadi kekuasaan yang hina dan semena-mena, karena hilangnya nilai. Politik menjadi kering bila berlandaskan legal formal  belaka, apalagi produksi ‘aturan legal’ hanya berdasarkan kehendak dan karya rekayasa.

Kecurangan – halal, intimidasi – halal, yang penting ada dasar hukumnya !. Politik yang demikian pada akhirnya akan menjadi lawan Tuhan dan bukan wakil Tuhan. Kekuasaan absolut milik Tuhan telah direnggut dengan sandaran ketukan palu sidang pleno dewan konstitusi. Politik yang begini mesti segera dibongkar- bongkar oo ya bongkar. (an. Iwan fals)

Komentar