Sabtu, 27 April 2024 | 21:29
OPINI

Empati dalam Aksi

Memahami Kepemimpinan Bencana dan Krisis Jacinda Ardern pada Tragedi Christchurch Shooting

Memahami Kepemimpinan Bencana dan Krisis Jacinda Ardern pada Tragedi Christchurch Shooting
Jacinda Ardern (Dok Yotube)

Oleh: Sellina Mutiara Anggodo *

ASKARA - Pada 15 Maret 2019, seorang penembak berideologi supremasi kulit putih melakukan penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, yang menyebabkan kematian 51 orang dan luka-luka lainnya. Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru saat itu, menggambarkan serangan tersebut sebagai salah satu hari tergelap bagi negaranya dan sebagai tindakan kekerasan yang luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ardern menekankan bahwa para korban adalah imigran dan pengungsi yang telah memilih Selandia Baru sebagai tempat tinggal mereka, dan aksi dari pelaku penembakan tersebut tidak diterima di negaranya. Respons Ardern terhadap tragedi tersebut menuai apresiasi secara luas dari seluruh dunia karena sikap empatinya dan kepemimpinannya yang tanggap dalam situasi krisis. Dia segera menyebut serangan tersebut sebagai tindakan terorisme dan mengeluarkan larangan terhadap senjata serbu (assault weapons) setelah kejadian tersebut. Ardern juga memberikan bantuan keuangan kepada keluarga korban dan menanggung semua biaya pemakaman.

Pemimpin yang efektif dalam mengelola bencana dan keadaan darurat dapat mengurangi kerusakan. Mereka harus terampil, mampu mengelola situasi berdasarkan lingkungan dan organisasi yang dipimpin, serta memiliki peran penting dalam mengoordinasikan semua tahap penanganan krisis, dari fase awal hingga akhir. Tanggung jawab pemimpin dalam manajemen bencana berat karena mereka harus memilimalisir dampak bencana, memberikan pesan optimistik dan harapan kepada para korban, serta membuat keputusan kebijakan yang tepat meski informasi terbatas. Oleh karena itu, seorang pemimpin perlu tangguh, memiliki ketahanan (resilience), dan kecerdasan emosional tinggi. Ardern menekankan empati dalam menangani tragedi Penembakan Masjid Christchurch. Empati berkaitan dengan karakter seseorang dan merupakan komponen dasar dari kecerdasan emosional.

Jacinda Ardern, lahir pada 26 Juli 1980, adalah seorang politikus dari Partai Buruh Selandia Baru yang memegang jabatan Perdana Menteri Selandia Baru dari 26 Oktober 2017 hingga 25 Januari 2023. Dia meraih jabatan tersebut pada usia 37 tahun, mencatat rekor sebagai pemimpin terpilih termuda dalam sejarah politik Selandia Baru. Ardern terkenal karena keterhubungannya yang kuat dengan masyarakat dan kerap berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Dia semakin dikenal karena perhatiannya pada kebijakan-kebijakan terkait tragedi penembakan di masjid Christchurch pada 15 Maret 2019, menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap peristiwa tersebut.

Sehari setelah tragedi, Ardern mengunjungi Christchurch, mengenakan pakaian hitam dan jilbab, serta menyatakan bahwa seluruh Selandia Baru "bersatu dalam kesedihan". Tindakan Ardern menunjukkan kebijakan politik berbasis empati yang dimilikinya. Selain itu, dalam pidato di parlemen Selandia Baru pada 10 April 2019, Ardern terlihat mengeluarkan air mata saat berbicara kepada keluarga dan korban serangan tersebut. Ardern tidak hanya menunjukkan empati dalam tindakan simbolis, tetapi juga terlihat berupaya membangun rekonsiliasi dan mendukung minoritas, khususnya komunitas Muslim yang merupakan minoritas di Selandia Baru.

Kerudung bagi perempuan Muslim adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan kepercayaan mereka. Ardern sadar bahwa banyak perempuan Muslim merasa tidak aman dengan keyakinan mereka dan membutuhkan jaminan akan keamanan. Ardern memastikan keamanan bukan hanya soal kehadiran petugas bersenjata, tetapi juga mengenai memastikan rasa percaya diri. Ardern bahkan mengenakan kerudung hitam saat bertemu komunitas Muslim di Christchurch dan acara lainnya, dengan tujuan memberikan perasaan aman bagi mereka menjalankan kepercayaan. Melalui tindakan ini, Ardern menyatakan dukungan dan cinta bagi komunitas Muslim di seluruh dunia sebagai bagian dari tugasnya.

Dalam pertemuan dengan keluarga korban, Ardern memberikan pelukan, pesan, dan nasihat, menyatakan bahwa rakyat Selandia Baru berdiri bersama mereka. Pelukan-pelukan ini menjadi tindakan politik yang berarti dalam menghadapi serangan teroris di Christchurch. Ardern berusaha memposisikan dirinya sebagai bagian dari keluarga korban, menunjukkan komitmen untuk berjuang bersama. Melalui tindakan ini, dia menciptakan keterhubungan emosional yang mendalam dan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin peduli bagi seluruh warga Selandia Baru, tanpa memandang latar belakang agama. Selain itu, Ardern juga menunjukkan penghargaannya dengan menggunakan salam khas umat Muslim, "Assalamualaikum," menegaskan bahwa komunitas Muslim adalah bagian yang dihormati dan dilindungi di Selandia Baru.

Sebagai respons atas penyiaran langsung serangan teroris di media sosial setelah penembakan di Christchurch, Ardern memperingatkan peran situs seperti Facebook pada tanggal 17 April 2019, menyebutnya sebagai masalah besar di Selandia Baru. Tak berlangsung lama setelah serangan pada 15 Maret 2019, Ardern segera meminta perubahan dalam hukum senjata, menjadikannya respons tercepat oleh pemimpin negara di dunia. Amendemen hukum disetujui oleh parlemen dalam waktu sekitar tiga minggu. Ardern berhasil mendapatkan dukungan besar untuk perubahan hukum senjata ini setelah melakukan lobi intensif dengan anggota parlemen, termasuk petani dan pekerja yang sebelumnya diperkirakan menolak. Larangan penggunaan senapan semi-otomatis militer dan senapan serbu pun disepakati dalam perubahan ini, dengan ancaman penjara hingga lima tahun bagi pelanggar.

Tidak hanya bermain di level domestik, Ardern juga mengambil langkah internasional menyadari bahwa terorisme berakar dari ujaran kebencian yang merupakan masalah global dan tidak hanya dialami oleh Selandia Baru. Ardern mengungkapkan keinginannya untuk mengajak komunitas internasional untuk melakukan dialog tentang pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa di Christchurch. Ardern dan Presiden Macron dari Prancis menginisiasi The Christchurch Call dua bulan setelah serangan di Christchurch pada Maret 2019. Inisiatif ini bertujuan menghilangkan konten teroris secara online dengan dukungan dari lebih dari 130 negara, perusahaan teknologi, dan organisasi sipil. Mereka fokus pada pengembangan alat untuk mencegah dan menghapus konten teroris, memerangi akar penyebab ekstremisme, meningkatkan transparansi dalam pendeteksian konten, serta menyesuaikan algoritma agar tidak mengarahkan pengguna ke konten kekerasan. The Christchurch Call juga mendorong reformasi dalam Global Internet Forum to Counter Terrorism, dan perusahaan kecerdasan buatan seperti OpenAI dan Anthropic bergabung dengan inisiatif ini, memperluas dampaknya secara global.

Ardern menunjukkan kepemimpinan krisis yang berbasis empati dan tindakan konkret dalam menanggapi serangan teroris di Christchurch. Tindakan simbolis seperti berpakaian serba hitam dan jilbab serta menunjukkan empati dengan menangis bersama keluarga korban menciptakan keterhubungan emosional yang kuat dengan komunitas Muslim. Ardern juga responsif dengan mengubah undang-undang senjata dan mengingatkan peran media sosial dalam menyebarkan konten teroris. Melalui inisiatif globalnya, The Christchurch Call, dia berusaha menghilangkan konten ekstremis di internet dengan dukungan luas dunia. Pemimpin, termasuk Indonesia, diharapkan belajar dan menerapkan pendekatan Ardern: membangun koneksi emosional dengan masyarakat, responsif dalam krisis, menguatkan kerjasama lintas negara, melindungi kelompok minoritas, dan menerapkan mitigasi efektif dalam situasi darurat. Pendekatan Ardern bisa menjadi panduan bagi pemimpin dunia dalam menangani tantangan serupa dengan kepemimpinan inklusif, responsif, dan tindakan konkret untuk menyatukan warga negara demi keamanan bersama.
 

* Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi,
Departemen Ilmu Administrasi Negara

Komentar