Senin, 29 April 2024 | 14:40
NEWS

Jadi Pembicara di Webinar MAI, Prof. Rokhmin Dahuri Bahas Perbandingan Perikanan Indonesia dan Vietnam

Jadi Pembicara di Webinar MAI, Prof. Rokhmin Dahuri Bahas Perbandingan Perikanan Indonesia dan Vietnam
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA –  Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyampaikan materi pada Webinar Nasional Masa Depan Perikanan Indonesia “Perikanan Sebagai Salah Satu Andalan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan Di Indonesia: Lesson Learned Vietnam” yang diadakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), pada Selasa malam, 19 Desember 2023.

Tampil menjadi pembicara,  Prof. Rokhmin Dahuri membahas perbandingan perikanan Indonesia dan Vietnam. Indonesia berada di peringkat ke-11 dengan nilai US$5,7 miliar, posisinya masih di bawah Vietnam yang menduduki peringkat ke-3 dengan nilai US$8,3 miliar. Pada tahun 2022, Rata-rata tingkat konsumsi Vietnam sebesar 1,5 kg/kapita/bulan sedangkan Indonesia sebesar 4,5 kg/kapita/bulan.

”Untuk meningkatkan daya saing, Indonesia perlu fokus pada peningkatan efisiensi produksi, penerapan praktik perikanan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas produk, sambil memperkuat infrastruktur, teknologi, serta kerja sama antarstakeholder dalam pengembangan kebijakan yang mendukung perdagangan internasional perikanan,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Indonesia (MAI) itu.

Melalui tema “Strategi Pembangun Perikanan Budidaya Yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, Dan Berkelanjutan Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045”, Prof. Rokhmin Dahuri mengupas zona akuakultur berdasarkan kondisi geoekologi Vietnam.

Timur laut dan barat laut: budidaya ikan air tawar di kolam, keramba bambu dan sawah. Delta sungai merah (RRD): budidaya ikan air tawar di tambak, udang laut di tambak, bivalvia di dasar pasang surut, dan ikan laut di keramba.

Pesisir tengah (utara dan selatan): budidaya udang laut di tambak, lobster dan ikan laut seperti cobia, seabass Asia dan kerapu di keramba. Dataran Tinggi Tengah: budidaya ikan air tawar di kolam dan keramba. Tenggara: budidaya ikan air tawar di tambak dan keramba, udang laut dan ikan di tambak.

Delta sungai Mekong (MRD): budidaya lele belang di kolam dan keramba serta budidaya ikan nila dan beberapa spesies asli (ikan gabus, ikan tenggeran, dll). di tambak dan udang galah di sawah, berbagai tingkat intensifikasi udang laut di tambak, dirotasi di sawah dan terpadu di hutan bakau.

Status Dan Permasalahan Pembangunan Indonesia

Prof Rokhmin Dahuri menerangkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB),” ujarnya.

Maka, mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut. “Saya tidak habis pikir kalau pejabat Negara bisa tidur dengan data ini,” katanya.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Menurut garis kemiskinan Bank Dunia (3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.440.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk)

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Tingkat Literasi Negara Di Dunia

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Hingga 2022, peringkat GII Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN. Terkait Indeks Pembangunan Manusia,  Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, hingga 2021, Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Mengutip UNCTAD dan UNDP, (2021), kata Dosen Kehormatan Mokpo National Univesity Korea Selatan itu, mplikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan potensi Perikanan Budidaya sebagai kontributor utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Antara lain: 1. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai 100.000 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), yang 77% wilayahnya berupa laut dan 28% wilayah daratnya berupa ekosistem perairan (sungai, rawa tawar, danau, dan bendungan), Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton/tahun.

2. Seiring dengan pertambahan penduduk, maka permintaan terhadap produk akuakultur (Perikanan Budidaya) terus meningkat. 3. Bila dikelola berbasis IPTEKS yang benar, investasi dan bisnis di sektor Perikanan Budidaya cukup hingga sangat lucrative (menguntungkan). 4. Usaha Perikanan Budidaya pada umumnya banyak menciptakan lapangan kerja, multiplier effects, dan berlangsung di wilayah perdesaan, pesisir, PPK, dan luar Jawa.

5. Akuakultur bukan hanya menghasilkan komoditas pangan sumber protein hewani (ikan, krustase, dan moluska), tetapi juga komoditas sumber functional food, farmasi, kosmetik, biofuel, bioplastics, perhiasan, dan bahkan sumber karbohidrat (padi, dan mungkin tanaman pangan lainnya). 6. Pada umumnya biaya investasi dan modal usaha (working capital) usaha akuakultur relatif kecil.

“Pada umumnya akuaklutur is not ‘a rocket science’, sehingga kebanyakan rakyat bisa melakukan usaha akuakultur.  Buktinya: sejak 2009 Indonesia produsen akuakultur ke-2 di dunia, hanya kalah dari China,” kata Prof. Rokhmin Dahuri menutip FAO (2022).

Kemudian, 7. Akuakultur termasuk ke dalam sumber daya terbarukan, maka sektor Perikanan Budidaya menopang pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sejak 2009 hingga 2021 Indonesia, ungkapnya, menjadi produsen Perikanan Tangkap laut terbesar ke-2 di dunia setelah China, dan produsen Perikanan Budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China. Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033.

Selanjutnya, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang menjabarkan permasalahan dan tantangan perikanan budidaya Indonesia. Antara lain: 1. Mayoritas pembudidaya perikanan, khususnya yang skala Mikro dan Kecil (tradisional), masih miskin (pendapatan < US$ 375 (Rp 5,625 juta)/bulan/orang) (Bank Dunia, 2022).

2. Sebagian besar unit bisnis (usaha) perikanan budidaya tradisional tidak menerapkan: (1) Economy of Scale (Skala Ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System (Hulu – Hilir); (3) Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik); (4) Teknologi Mutakhir (Blue Economy, Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok; dan (5) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development)  Kurang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan  pembudidaya miskin dan kontribusi sektor Perikanan Budidaya (Aquaculture) bagi perekonomian Indonesia (PDB, ekspor) rendah.

3. Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar (korporasi) perikanan budidaya; seperti era tambak udang Dipasena dan Central Pertiwi Bratasena (CPB), perusahaan-perusahaan tambak udang yang tergabung dalam SCI (Shrimp Club Indonesia) Lampung yang menerapkan kelima kiat bisnis perikanan budidaya pada butir-2, sehingga maju dan makmur (berjaya); jiwa sosial-kemanusiannya rendah (gaji atau upah karyawan rendah, tidak ada jaminan ekonomi saat pensiun, dan kontribusi terhadap PDRB serta PAD pun rendah).  Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi korporasi perikanan budidaya tersebut tidak bersifat inklusif.

4. Ledakan wabah penyakit akibat penggunaan benih atau benur yang tidak unggul dan tidak bersertifikat (SPF, SPR, dan fast growing), kualitas air tambak/kolam/KJA yang buruk (tercemar berat) akibat manajemen pakan dan kualitas air yang tidak baik serta air baku berasal dari lingkungan perairan (sungai, danau, laut, dan lainnya) yang sudah tercemar (polluted).

5. Ketersediaan pakan berkualitas, terutama di kawasan-kawasan akuakultur (perikanan budidaya) yang terpencil (remote aquaculture areas), acap kali terbatas; dan harganya pun cenderung naik akibat semakin terbatasnya fishmeal (tepung ikan) sebagai sumber utama protein hewani berkualitas tinggi (top quality) untuk pakan udang ikan (pellet) dan penyebab lainnya.

6. Harga hampir semua sarana produksi yang berkualitas (benih, benur, pakan, obat-obatan, ALSINTAN, dll) di tingkat pembudidaya lebih mahal ketimbang di tingkat produsen sarana produksi.

7. Harga jual komoditas hasil panen pembudidaya (ikan, udang, kekerangan, rumpu laut, dan lainnya) masih flutuatif dan relatih stagnant atau kalau pun naik, kenaikannya kecil.  Profit margin (porsi keuntungan) sebagian besar dinikmati oleh processors dan traders.

8. Posisi tawar (bargaining position) sektor (investasi dan bisnis) perikanan budidaya dalam RTRW Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota pada umumnya lebih rendah ketimbang sektor properti, kawasan perkotaan, industri manufaktur, ESDM, pariwisata, dan lainnya  Akibatnya, lahan perikanan budiaya seringkali tergusur (dialihfungsikan ke) oleh sektor-sektor pembangunan lainnya, terutama yang seolah-olah “high profit and quick-yielding”.

9. Infrastruktur dasar (jaringan jalan, listrik, telkom, internet, air bersih, pelabuhan, bandara, dll) dan infrastruktur perikanan budidaya (saluran irigasi dan drainasi, sumberdaya air, hatchery, broodstock centers, dll) masih terbatas.

10. Pencemaran perairan danau, bendungan, sungai, dan laut sebagai sumber air untuk budidaya perikanan atau media langsung budidaya perikanan akibat aktivitas sektor-sektor pembangunan lainnya dan aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan.

11. Dampak negatip dari Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.

12. Kualitas SDM pembudidaya perikanan, ASN, Dosen, Peneliti, LSM, dan stakeholdsers lainnya (pendidikan, pengetahuan, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) pada umumnya masih relatif rendah.

13. Dukungan inovasi teknologi maupun non-teknologi sangat rendah, akibat kinerja lembaga R & D di tingkat Nasional maupun Daerah yang rendah pula.

14. Suku bunga bank terlalu tinggi dan persyaratan pinjam rumit, karena usaha perikanan budidaya dianggap high risk.

15. Iklim investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business); seperti perizinan, konsistensi kebijakan pemerintah, keamanan berusaha, dan kepastian serta keadilan hukum; masih kurang kondusif. Buktinya (indikatornya): investasi PMDN dan PMA di sektor PB masih sangat kecil.

16. Kebijakan politik-ekonomi atau makro pembangunan (moneter, fiskal, ekspor – impor, dll) juga belum kondusif.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Penasehat Ahli Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu.

Sebagai informasi, Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bunga kredit ke sektor perikanan memang cenderung meningkat, meski tipis. Pada Januari 2019 rata-rata bunga ke segmen perikanan mencapai 10,51%, sedangkan pada Juni 2019 mencapai 10,52%. Sementara pada Mei 2019, bunga kreditnya mencapai titik paling tinggi sebesar 10,55%.

Meski demikian, jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, bunga kredit ke sektor perikanan sejatinya telah turun. Pada 2015 misalnya tercatat sebesar 12,90%, 2016 sebesar 11,95%, 2017 sebesar 11,27%, dan 2018 sebesar 10,51%.Peringkat Kredit Bank Umum berdasarkan Lapangan Usaha, 2022

Lalu, Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) mengutip Kritik Haris Muhtadi (Ketum SCI) terhadap 12 Proyek Tambak Udang Modern Yang Dibangun dari dana APBN danPinjaman ADB, dan Dikelola oleh KKP  (Kompas, 11 Desember 2023, halaman 10).

a. Tujuan: meningkatkan produksi udang budidaya nasional

b. Lokasi: 13 kawasan pesisir, antara lain Kebumen, Waingapu (NTT), Aceh, Lampung, Jembrana, dan Sulawesi Selatan.  Catatan: NTB harus masuk.

c. Anggaran: (1) Tambak seluas 60 ha di Kebumen dengan dana Rp 175 milyar dari APBN 2023 sudah berproduksi; (2) 1.800 ha tambak udang terpadu (hulu – hilir) dengan total biaya pembangunan USD 500 juta (Rp 7,8 trilyun) pinjaman dari ADB atau yang lain?, akan dibangun pada awal 2024;  (3) Proyek Pengembangan Infrastruktur Budidaya Udang dari pinjaman ADB sebesar Rp 1,3 trilyun; dan (4) APBN Ditjen. PB Rp 826,6 M pada 2024.

d. Kritik SCI: Proyek Pembangunan Tambak Udang Modern oleh KKP tidak tepat, karena:

1. Permasalahan utama usaha budidaya tambak udang di Indonesia adalah: (1) mahalnya biaya logistik dari sentra budidaya ke sentra industri pengolahan udang untuk ekspor; (2) rendahnya produktivitas; (3) wabah penyakit; (4) mahalnya harga pakan berkualitas, yang merupakan sekitar 60% biaya produksi (tambahan dari RD!); (5) perizinan rumit dan panjang; (6) keamanan berusaha rendah akibat ulah oknum Pemda, polisi, kejaksaan dan preman; (7) posisi tambak udang dalam RTRW (RZWP3K) rendah; dan (8) fungsi intermediasi perbankan untuk usaha tambak udang rendah.

2. Tugas utama pemerintah c.q. KKP adalah: (1) menciptakan iklim investasi yang kondusif; (2) memberikan kemudahan berusaha (Ease of Doing Business); (3) memperbaiki dan membangun infrastruktur; (4) membangun SDM unggul; (5) mengembankan R & D untuk menghasilkan inovasi yang aplikatif; (6) menyiapkan regulasi yang kondusif; dan (7) model percontohan teknologi baru.

3. Tidak ada negara di dunia yang melakukan proyek tambak udang seperti KKP.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan Kebijakan, Program, Dan Strategi Pembangunan Perikanan Budidaya Yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, Ramah Lingkungan, Dan Berkelanjutan, yaitu:

1. Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

2. Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).  

3. Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat.

4. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

5. Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.

6. Revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan  Sehingga, kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen !!!.  Sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan.

7. Peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.

8. Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.

9. Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.

10. Aplikasi Blue Economy: zero waste, zero carbon emission (penggunaan energi terbarukan seperti matahari, angin, kelautan, dan lainnya), ekonomi sirkuler, dan lainnya.

11. Perbaikan dan pengembangan infrastruktur: jalan, listrik, air bersih, telkom, internet, irigasi dan drainasi tambak, dan lainnya.

12. Penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif: perizinan, keamanan berusaha, kosistensi kebijakan, kepastian dan keadilan hukum, ketenagakerjaan, dan lainnya.

13. Kebijakan politik ekonomi yang kondusif: moneter (bunga bank), fiskal, ekspor-impor, RTRW, IPTEK, dan lainnya.

Pengertian Akuakultur

“Akuakultur adalah produksi ikan, krustasea, moluska, invertebrata, alga, mikroba, tumbuhan, dan organisme lain melalui penetasan dan pemeliharaan di ekosistem perairan,” terang Prof. Rokhmin Dahuri, mengutip Parker (1998).

A. Peran dan fungsi budidaya perikanan secara konvensional menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota perairan lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme akuatik lainnya.

B. Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbahan dasar alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme perairan lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel yang berasal dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis budidaya perikanan; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Semua unit usaha pada program-1 (Revitalisasi), program-2 (Ekstensifikasi), dan program-3 (Diversifikasi) harus sesuai atau menerapkan: (1) economy of scale; (2) Integrated Supply Chain Management System (Pra-produksi, Produksi, Industri Pengolahan, dan Pemasaran); (3) teknologi mutakhir yang tepat (Best Aquaculture Practices, Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Best Aquaculture Practices: (1) induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas air; (5) pond design & engineering; dan (6) biosecurity.

Industry 4.0 technologies: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology  “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.

Komentar