Minggu, 28 April 2024 | 11:21
OPINI

Membongkar Mitos Stigma Terhadap Musik Dangdut dan Film Horor

Membongkar Mitos Stigma Terhadap Musik Dangdut dan Film Horor
Sutrisno Buyil (ist)

ASKARA - Stigma yang telah lama melekat pada musik dangdut dan film horor tampaknya masih menjadi perdebatan yang berkelanjutan di industri hiburan. Namun, saat kita menyelidiki lebih dalam, bukti-bukti menunjukkan bahwa pandangan ini harus diperbarui.

Pertama, mari lihat pencapaian Fitri Carlina, seorang artis dangdut yang baru-baru ini membawa getaran musik dangdut ke Time Square, pusat perbelanjaan terkenal di New York, Amerika Serikat. Konser ini menjadi sorotan utama dalam Indopop Movement Volume 3, dan mengejutkan masyarakat Amerika yang ikut merasakan iramanya. Apakah ini bukan bukti bahwa musik dangdut telah menembus batas-batas negara dan kelas?

Namun, stigma bahwa musik dangdut adalah hiburan kelas rendahan masih bertahan, meskipun pencapaian seperti ini. Demikian pula, film horor menghadapi masalah serupa. Film horor seperti "Pengabdi Setan 2" yang diproduksi oleh Joko Anwar sukses besar di Tiongkok, Taiwan, dan Jepang, menunjukkan bahwa genre ini telah berkembang menjadi lebih serius.

Saat Joko Anwar berbicara dalam sebuah Diskusi Publik dalam rangka Hari Film Nasional, dia dengan yakin menyatakan bahwa film horor telah naik kelas. Penyataan ini didukung oleh pemikiran aktor veteran seperti Slamet Rahardjo, yang semula meragukan perubahan ini, tetapi akhirnya mengakui bahwa film horor telah mengalami transformasi signifikan.

Artis terkenal seperti Shandy Aulia, Luna Maya, Titi Kamal, Prilly Latuconsina, dan Marcella Zalianty, yang sebelumnya mungkin enggan terlibat dalam film horor, sekarang berbondong-bondong membintangi film-film angker. Ini membuktikan bahwa pandangan bahwa film horor adalah hiburan selera kampungan semakin tidak relevan.

Selain itu, biaya produksi film horor telah meningkat pesat. Manoj Punjabi dari MD Pictures menjelaskan bahwa biaya produksi film horor sekarang setara dengan genre film lainnya. Ini menunjukkan bahwa istilah "film horor murahan" harus diperbaharui.

Film era milenial juga telah mengalami perubahan signifikan. Mereka tidak lagi hanya mengandalkan unsur seksualitas atau adegan mencekam yang mengagetkan. Musik dangdut juga mengalami perubahan serupa, menggabungkan elemen-elemen lembut tanpa mengurangi keintiman dan ketegangan.

Dengan kehadiran artis papan atas, biaya produksi setara dengan genre film lainnya, serta eksplorasi global oleh musik dangdut, kita harus bertanya pada diri sendiri, mengapa stigma ini masih melekat pada musik dangdut dan film horor? Mungkin saatnya kita melihat keduanya dengan mata yang lebih terbuka dan meresapi perubahan yang telah mereka alami.  

Penulis
Sutrisno Buyil
Ketua umum Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) Indonesia

Pernah Bekerja Sebagai
Wartawan Majalah Film
Harian Wawasan Semarang

Freelance di beberapa Media Online

Komentar