Senin, 29 April 2024 | 16:49
NEWS

Tampil di Munas IV Gahawisri, Prof Rokhmin Dahuri Bahas Penerapan Blue Economy Dalam Pembangunan Pariwisata Bahari

 Tampil di Munas IV Gahawisri, Prof Rokhmin Dahuri Bahas Penerapan Blue Economy Dalam Pembangunan Pariwisata Bahari
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Munas IV GAHAWISRI (Gabungan Usaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia) diselenggarakan secara hybrid di buka resmi oleh Menteri Pariwisata dan ekonomi kreatif Sandiaga Uno di Grand Sahid Jaya Hotel-Jakarta, Selasa (15/8).

Munas dengan tema "“GAHAWISRI Berkolaborasi Bersama Pemerintah dalam Pengembangan Usaha Wisata Bahari dan Tirta yang Berkelanjutan" diisi oleh beberapa narasumber yaitu Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Penasehat Menteri kelautan dan perikanan, Dr.Sapta Nirwandar, Prof. Dietrich Bengen;

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan keynote speech (pidato kunci) berjudul “Penerapan Blue Economy Dalam Pembangunan Pariwisata Bahari Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.

Dalam paparannya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu mengutarakan tentang  potensi dan tantangan Pariwisata Bahari Di Indonesia. Menurutnya, sebagai negara kepulauan terbesar (17.504 pulau) di dunia, yang 75% total wilayahnya (termasuk ZEEI) berupa laut, dan sekitar 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada); Indonesia memiliki potensi Pariwisata Bahari (coastal and marine tourism) terbesar di dunia.

“Sayang, karena berbagai faktor penyebab, pembangunan Pariwisata Bahari Indonesia hingga kini belum optimal.  IKU (Indikator Kinerja Utama) atau KPI nya (jumlah kunjungan wisatawan, devisa, kontribusi terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat lokal, dan environmental sustainability) masih relatif rendah,” ujarnya.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan Tantangan Pariwisata Bahari Berkelanjutan Indonesia. Antara lain: Semangat dan profesionalisme para pengusaha Pariwisata Bahari Indonesia pada umumnya relatif masih rendah; Pada umumnya prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Blue Economy) tidak diimplementasikan dalam pembangunan, investasi, dan bisnis Pariwisata Bahari;

Kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, etos kerja, dan akhlak) pada umumnya juga rendah; Infrastruktur, konektivitas, akesesibilitas, dan amenities belum memadai; Koordinasi dan sinergi antar lembaga pemerintah, antara pemerintah dengan swasta dan stakeholders lainnya kurang baik; Kebijakan politik-ekonomi (moneter, fiskal, iklim investasi, ease of doing business, dll) belum kondusif.

Terkait status dan permasalahan pembangunan Indonesia, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, dari 200 negara PBB di dunia, hanya 17 negara dengan PDB US$ > 1 trilyun. Sementara, status pembangunan beberapa negara asia berdasarkan GNI (Gross National Income) Per Kapita (Dolar AS) pada 2022.

Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan & tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sedangkan menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2,5 dolar AS/orang/hari atau 75 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.125.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (40% total penduduk),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur).

Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Selain itu, ujar Prof. Rokhmin Dahuri, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

“Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terangnya.

Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Menurutnya, implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.  (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Disamping itu, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB),” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Atas dasar perhitungan diatas, jelasnya, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).

Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu menjelaskan pendekatan sistem untuk mewujudkan Indonesia Emas (Maju, Adil-Makmur, Dan Berdaulat) pada 2045. “Transformasi Ekonomi Struktural melibatkan realokasi faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti mengalihkan sumber daya (faktor produktif) dari sektor produktivitas rendah ke sektor produktivitas tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan negara untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu untuk membangkitkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip United Nations, 2008.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan potensi wisata bahari untuk mengatasi permasalahan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Terkait definisi dan ruang lingkup ekonomi kelautan (Marine Economy),  Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, “Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia.”

Pariwisata Bahari Di Tingkat Dunia

Setelah mengungkapkan sejumlah permasalahan ekonomi kelautan Indonesia, Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut Berkelanjutan, Universitas Bremen, Jerman tersebut menyampaikan estimasi nilai ekonomi sektor- sektor ekonomi kelautan Indonesia.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan jenis-jenis obyek dan aktivitas pariwisata bahari. Yaitu: 1. Berjemur di pantai atau kolam renang; 2. Berenang di laut atau air tawar; 3. Olahraga tepi pantai dan air tawar seperti skuter air, perahu sosis, sepeda roda tiga air, selancar angin, papan selancar, papan dayung, parasailing, kayak, katamaran, dll;

Kemudian, 4. Berperahu kesenangan; 5. Berlayar di laut; 6. Berlayar; 7. Memancing; 8. Menyelam, snorkeling, melihat perahu kaca dan fotografi bawah air; 9. Taman laut; 10. Berkano; Dan 11. Taman pesisir, cagar alam, hutan hujan, kebun dan jalan setapak, desa nelayan.

“Secara global, pariwisata pesisir dan laut (Pariwisata Bahari) merupakan sekitar 50% dari seluruh pariwisata dunia, setara dengan US$4,6 triliun (5,2% dari PDB). Ini adalah komponen vital ekonomi pulau-pulau kecil dan masyarakat pesisir,” terangnya mengutip Ocean Panel, 2020.

Untuk itu, Prof. Rokhmin Dahuri berharap, Pariwisata Bahari menjadi sektor ekonomi laut terbesar pada tahun 2030 dan mempekerjakan sekitar 8,5 juta orang, nomor dua setelah perikanan skala kecil dalam hal lapangan kerja (Tonazzini et al. 2019).

Menurutnyam Pariwisata Bahari diperkirakan mencapai 26 persen dari nilai yang dihasilkan oleh industri berbasis laut pada tahun 2030 (OECD 2016). Namun, Pariwisata Bahari sangat bergantung pada kualitas ekosistem pesisir dan laut untuk menarik pengunjung.

“Salah satu bagian terbesar dari sektor ini, pariwisata terumbu karang, menarik lebih dari 350 juta orang/tahun dan diperkirakan bernilai $36 miliar per tahun, terumbu karang menghasilkan pengeluaran pariwisata lebih dari $1 juta/km2/tahun (Ocean Panel, 2020),” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Pada paparan penutup, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan aplikasi blue economy dalam  pariwisata bahari berkelanjutan Indonesia. Lalu, dia memaparkan strategi Pembangunan pariwisata bahari berkelanjutan Indonesia berbasis Blue Econony.

Menurutnya, strategi itu mencakup tujuh hal. Antara lain: Pengembangan Pariwisata Bahari antara lain: Pertama, Revitalisasi obyek-obyek (destinasi) wisata bahari yang ada saat ini, sehingga lebih menarik bagi wisatawan, baik wisnu maupun wisman. Kedua, Pengembangan destinasi wisata baru yang inovatif dan atraktif. Ketiga, Product development jenis-jenis wisata bahari baru yang inovatif dan atraktif.

Keempat, Promosi dan pemasaran. Kelima, Peningkatan kualitas SDM yang ramah kepada wisatawan. Keenam, Peningkatan konektivitas dan aksesibilitas (termasuk bebas visa), infrastruktur, sarana, dan amenities. Ketujuh, Kebijakan Politik Ekonomi (Moneter, Fiskal, Iklim Investasi, Kemudahan Berbisnis, dll) harus kondusif.

“Dengan catatan, revitalisasi, pengembangan destinasi, dan product development harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Blue  Economy): RTRW, sesuai daya dukung lingkungan, zero waste, zero emission, konservasi biodiversitas, mitigasi dan  adaptasi terhadap perubahan iklim global, dan prosperity berkeadilan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Komentar