Sabtu, 27 April 2024 | 18:01
OPINI

Makna Anies Tunaikan Ibadah Haji yang Harus Dicermati

Makna Anies Tunaikan Ibadah Haji yang Harus Dicermati
Anies Baswedan (int)

Oleh Agus Wahid *)

ASKARA - Mengharukan. Mengundang segudang pertanyaan, apa makna di balik itu semua. Itulah jika kita cermati Anies Baswedan menunaikan ibadah haji pada tahun 1444 Hijriah (2023) ini. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tidak lazim selama ini bagi peribadahan masyarakat muslim di seantero dunia, termasuk tokoh khusus (pejabat negara). Menarik untuk kita analisis secara kritis.

Pertama, posisi Anies saat ini bukan pejabat negara. Tapi, keberangkatannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan undangan resmi Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Undangan ini mengandung makna Anies menjadi sosok istimewa, minimal di mata KSA. Dalam beberapa hal, KSA memang pernah memberikan banyak undangan kepada sejumlah tokoh muslim dunia Islam dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara. Tapi – sekali lagi – saat ini Anies bukanlah pejabat negara. Tapi, mengapa mendapatkan undangan itu. Hal ini menggambarkan sosok Anies memang istimewa di mata KSA.

Kedua, pengistimewaan itu kian menampak kualitasnya, ketika Anies dan rombongannya (istri, anak-anak, menantu dan sahabat terdekatnya) diberi fasilitas guest house kerajaan, yang letaknya tak jauh dari Masjidil Haram. Hal ini juga menggambarkan betapa KSA demikian memuliakan sosok Anies. Yang cukup mengharukan – sebagai hal ketiga – ketika menjalankan rukun-rukun haji seperti thawaf dan lainnya mendapatkan pengawalan `asykar KSA.

Pengawalan itu sungguh menggambarkan sikap KSA yang memandang penting tentang pengamanan seorang Anies. Meski selama ini belum pernah tercatat dalam sejarah terjadinya tundakan kriminal terhadap jamaah haji dalam arena thawaf atau lainnya, tapi KSA benar-benar concern untuk menjaga keselamatan Anies dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Meski belum pernah terjadi kriminal, tapi potensi buruk bukanlah fatamorgana. Hal ini sejalan dengan posisi Anies kini sebagai calon Presiden RI meski belum resmi.

Yang perlu dicatat, pengawalan itu menggambarkan bukan hanya sikap kepedulian KSA terhadap keselamatan Anies, tapi sinyal kuat dukungan KSA atas langkah politik Anies menuju Istana Merdeka – Jakarta. Dukungan politis ini sungguh penuh makna dan bisa dijabarkan lebih jauh, selagi proses menuju singgasana, apalagi pasca kontestasi. Sikap politik KSA ini tidak menutup kemungkinan akan “menular” secara positif: solidaritas negara-negara Teluk Arab, bahkan sebagian besar negara-negara Islam. Dukungan politik ini berpotensi berkembang ke dukungan lainnya, apalagi data menunjukkan Anies bukanlah milyarder dan oponen oligarki di Tanah Air ini. Yang menarik untuk digaris-bawahi, dukungan dunia Arab tidak kompensasional. Jauh dari nuansa ingin “menjarah” sumber daya alam Indonesia, apalagi sampai menganeksasi wilayah NKRI. Beda jauh dengan prototip China. Dukungan itu juga tidak mengarah pada gelagat ingin mencampuri proses politik kontestasi itu. KSA dan para sahabatnya di negara-negara Arab atau Dunia Islam tetap menghargai politik sesuai prinsip demokrasi yang dijalani RI ini.

Dalam perspektif agama, dukungan deras dari berbagai komponen elitis Dunia Arab dan kemungkinan negara-negara Islam lainnya – boleh jadi – merupakan jawaban tentang skenario Allah yang siap menghadang skenario manusia yang banyak digalang oleh kekuatan oligaki domestik plus campur tangan asing (Tiongkok). Tidak tertutup kemungkinan, kemesraan China – Saudi Arabia saat ini akan menggerakkan KSA “menasehati” agar tidak terlalu jauh mencampuri kontestasi pemilihan presiden di Indonesia. Sebagai karakter pedagang dan demi mengamankan jalinan bisnisnya bersama Saudi, Negeri Tirai Bambu akan mengendorkan kebijakan politik luar negerinya yang terus cawe-cawe terhadap kontestasi pilpres di Tanah Air ini.

Peran diplomatik KSA sungguh konstruktif bagi kawasan Asia Tenggara bahkan Asia Selatan. Peran KSA ini – secara tak langsung – ikut meredakan potensi ketegangan di dua kawasan ini. Kita tahu, potensi panas itu sejalan dengan tidak memungkinnya Amerika membiarkan keterlibatan Tiongkok secara proaktif terhadap pilpres di Tanah Air ini. Sekali lagi, kepedulian KSA terhdap Anies berkorelasi positif terhadap neraca keseimbangan politik di dua kawasan itu. Peran KSA itu berpotensi akan memperkuat AS untuk lebih menguatkan dukungan politiknya terhadap Anies sebagai sosok capres, yang – secara tak langsung – diendorce KSA, bukan kandidat lainnya.

Keempat, ketika berada di Tanah Suci, Anies mendapat banyak “panggung”, di antaranya diberi kesempatan untuk khutbah di Masjid Nabawi. Kenapa tidak memberi panggung kepada salain Anies? Diskriminatifkah? Jika selain Anies diberi panggung, apakah dia mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa asing? Jadi, pemberian panggung terhadap Anies pun tak lepas dari kemampuannya yang berkualitas, secara bahasa ataupun containnya. Yang perlu kita garis-bawahi dari pemberian panggung adalah makna atau sinyal positif. Yaitu, KSA – secara dini – seperti mengumumkan kepada dunia Islam ataupun belahan dunia lainnya, “Inilah calon pemimpin Indonesia, yang siap bermuwajahah, menjadi mitra dialog dan kerjasama yang penuh kesehabatan dengan para pemimpin dunia mendatang dalam misi penuh kedamaian dan berkeadilan yang memang menadi obsesi Anies ”. Subhanallah. 

Pemberikan panggung itu juga bermakna pengumuman langsung kepada seluruh jamaah haji dari Tanah Air dan dari belahan dunia untuk mendoakan seorang Anies menuju Istana. Sinyal yang boleh dibilang sebagai perintah, minimal himbauan itu sungguh sangat mendalam maknanya. Sesuai hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Thabrani, dikutip juga oleh Charles de Mattew dalam bukunya The Palestine Document, ketika kita beramal ibadah, termasuk berdoa, yang dilakukan di Masjid Nabawai – juga Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha – dilipatkan 1000 kali. 

Maka, dengan jumlah jamaah haji sekitar 2 juta orang – atau minimal separuhnya – kita bayangkan berapa milyar kali panjatan doa itu untuk seorang Anies. Kuantitas milyaran doa berpetensi menjadi kualkutas: doanya diindahkan Allah. Jadi, pemberian panggug di Masjid Nabawi – perlu kita catat – sebagai skenario Alah untuk merealisasikan Anies sebagai pemimpin baru Indonesia melalui peilu 2024 mendatang. 

Pemberian panggung itu juga bermakna pengumuman kepada masyarakat Indonesia yang berada di Tanah Air dan yang lagi merantau di berbagai belahan dunia agar lebih memilih sosok pemimpin yang berkapasitas global, berdedikasi bagi negaranya dan – insya Allah – bagi kepentingan global. Tatanan dunia baru sangat membutuhan sosok pemimpin sebuah negara seperti Anies Baswedan yang berakhlak sangat mulia. Kemuliannya terus memancarkan auranya pada wajahnya yang selalu smiling. Tutur katanya yang terus menjaga perasaan orang lain dan tindakannya yang senantiasa mengedepankan kepentingan kemanusiaan dan keadilan bagi semua.

Hanya panggung itu? Masih ada lagi. Anies juga diundang oleh sejumlah ulama besar di sana. Dan yang mengharukan lagi, Anies dan kakaknya (Abdullah Baswedan) mendapat kunci duplikat sebagai pembuka Ka`bah. Dua hal itu sungguh mendalam maknanya. Yaitu, undangan ulama besar, apalagi sampai dicium dahinya menggambarkan kasih sayang disematkan kapada “ananda” tersayang. Tidak hanya belaian sang “ayah”, tapi doa tulus sebagai restu Anies melangkah untuk memimpin negara dan rakyatnya.

Semantara, kunci duplikat Ka`bah juga mengandung makna filosofis yang cukup mendalam, dalam perspektif sosial dan keagamaan. Kunci itu bukan hanya sekedar izin bagi Anies sewaktu-waktu ke Tanah Suci dan memasuki Ka`bah, tapi sejatinya  merupakan sinyal: memberikan jalan mulus untuk berkomunikasi dengan sang Khalik. It`s very special way untuk membuka langit di sidratul muntaha. 

Kelima dan hal ini sungguh krusial untuk kita catat, perlakuan KSA terhadap Anies dan responsi  masyarakat luas yang luar biasa itu bisa menjadi problem besar jika rezim ini tetap menghalangi Anies menuju kontestasi. Seperti yang beredar, muncul berita: Anies tak akan bisa kembali ke Tanah Air. Akan “di-HRS-kan”. Atau, langsung ditersangkakan bagitu mendarat di Bandara Soeta. Setidaknya beberapa hari setelah kembali lagi ke Tanah Air. Jika terjadi kriminalisasi itu, maka saat itu juga tergema revolusi sosial. Tak menunggu lama. Dan tak perlu ada komando. Secara reflektif, revolusi itu langsung membara. Inilah potensi suhu politik yang sulit dihindari jika rezim ini nekad menghadang Anies. Potensi ini pula yang tampaknya dibaca oleh BIN rezim. 

Akhirnya kita juga perlu mencat, skenario Allah jauh lebih digdaya. Maka, kita saksikan, rencana penersangkaan terhadap Anies hanyalah koar-koar yang tak ubahnya psywar. Atau, just test the water. Dan mencermati jutaan orang yang menyambut kepulangan Anies yang membuat kemacetan puluhan km Jakarta dan sekitanta menjadi mengkeret untuk memaksakan “uji coba” kriminalisasi Anies. Jika uji coba itu dimainkan, revolusi sosial itu itu akan langsung mengubur rezim. Saat itu juga. Hanya mengitung hari. Nasibnya akan seperti Ferdinand Markos dulu: Wie Yo Koh dan seluruh keluarganya langsung melarikan diri. Ngacir untuk menyelamatkan diri. Ga mikir keselamatan inner siclenya, apalagi para cebong yang senantiasa terus puja-puji tanpa melihat dampak kehancuran atas kepemimpinan Wie Yo Koh itu. Itulah pribadi pemimpin pengecut yang harusnya membuat kesadaran para pemujanya. Sebelum terlambat. Keselamatan para pemuja ada pada diri kalian sendiri: segeralah bertaubat. Tarik diri dari skenario jahat anti Anies. 

*) Analis dari Center for Public Policy Studies - INDONESIA

Komentar