Selasa, 28 Mei 2024 | 12:34
OPINI

Menilik Pemimpin Nasional Yang Ideal Tak Mungkin Abai Pada Nilai Agama

Menilik Pemimpin Nasional Yang Ideal Tak Mungkin Abai Pada Nilai Agama
Ilustrasi pemimpin ideal (int)

Oleh: Jacob Ereste 

ASKARA - Kalangan sastrawan berkata, sastra profetik adalah sastra yang berjiwa transendental dan sufistik. Lantaran sastra profetik beranjak dari nilai tauhid dan semangat keterlibatan dalam upaya meluruskan sejarah manusia menuju Tuhan dengan semangat kenabian.

Agama sebagai basis dari tata negara sekaligus tata berbangsa, karena agama (agama apapun namanya) mampu menghantar kehidupan yang harmoni dan damai, adil, makmur dan saling percaya antara yang satu dengan yang lain tanpa kecurigaan. Sehingga semangat etik profetik atau tatanan nilai ajaran dan tuntunan para Nabi dapat terjaga serta selalu menjadi pegangan.

Bhineka Tunggal Ika sebagai penopang utama Pancasila -- baik sebagai falsafah bangsa maupun ideologi negara Indonesia - betapa pentingnya agama sebagai penuntun manusia untuk senantiasa dekat dengan Tuhan. Sehingga rasa takut untuk berbuat bohong, menipu, ingkar janji bahkan khianat pada sumpah dan janji yang telah diikrarkan saat menerima amanah dan jabatan yang harus diemban dan diperjuangkannya itu tidak boleh diingkari dan diabaikan. Dalam konteks ini agaknya, pengertian dan pemahaman bahwa janji itu adalah hutang menjadi sangat relevan.

Memisahkan agama dari tata kelola negara dan bangsa -- apalagi cuma sekedar politik, ekonomi dan budaya -- akan terkesan hampa, seperti padi tanpa isi. Atau semacam manusia yang tidak punya ruh dan jiwa, sehingga tidak ubah semacam boneka mainan belaka.

Wayang saja yang sedemikian kuat diberi ruh dan jiwa dengan segenap wataknya yang khas masing-masing itu, tetap saja berada dibawah kendali sang dalang yang juga memiliki sikap dan sifat serta watak bawaannya. Apalagi hendak menunjuk satu figur pemimpin yang ideal untuk menjadi panutan banyak orang.

Jadi sosok pemimpin yang ideal itu, bukan cuma sekedar mampu menjadi tauladan, tapi juga memberi semangat dan motivasi serta jalan menuju kesejahteraan yang berkeadilan.

Dalam terminologi Islam, sosok seorang pemimpin itu harus amanah, Siddiq, tablig dan fathonah. Sehat jasmani dan rohani, tidak cacat fisik maupun mental, memiliki rasa solidaritas yang kuat. Murah hati dan ringan tangan untuk menolong siapa saja yang sedang mengalami kesusahan maupun kesulitan.

Bahkan ada diantara cerdik pandai kita yang mengatakan proses memilih pemimpin itu adalah bagian dari urusan dunia dan juga urusan akhirat. Sebab urusan dunia akan sangat menentukan masalah kelak diakherat yang akan dihadapi setiap manusia. Maka itu konsepsi dari makna rahmatan lil alamin dapat dijadikan penakar terhadap sosok seorang pemimpin yang ideal itu, pembawa Rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk serta kebaikan untuk jagat raya dan seisi bumi lainnya. Seperti pemahaman kepercayaan Sunda Wiwitan yang berpusat pada Tuhan, Manusia dan Alam.

Di dalam konsepsi rahmatan lil alamin itu jelas tersirat konsep perdamaian,  persaudaraan, toleransi serta tatanan yang harmoni seperti dilukiskan oleh penyair besar Indonesia, Wahyu Sulaiman Rendra, langit di dalam dan langit di luar bersatu dalam jiwa. Jika pun dapat dipadankan dengan pemaknaan  "manunggaling Kawulo lan Gusti itu", itu semua bisalah dipamahi sebagai bentuk tak berjaraknya manusia dengan Tuhan.

Karena itu sungguh akan menjadi sangat sulit untuk dipahami bila hendak menilik sosok pemimpin yang ideal tidak dari perspektif agama. Sebab dasar dari etik profetik itu sendiri  adalah titipan Tuhan yang dibawa Nabi untuk kesempurnaan manusia mengurus bumi untuk menjadi syarat layak atau tidak mencercap segenap nikmat diakherat kelak.

Komentar