Jumat, 26 April 2024 | 07:03
COMMUNITY

Seruan Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Terkait Pekerja Migran Indonesia

   Seruan Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Terkait Pekerja Migran Indonesia
Ilustrasi perdagangan manusia (Dok Pixabay)
ASKARA - Pekerja Migran Indonesia (PMI) memainkan peran penting dalam mengisi kekurangan tenaga kerja di berbagai sektor di luar negeri. PMI telah menjadi tulang punggung dalam mendukung pertumbuhan ekonomi negara dan menyumbangkan devisa melalui pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. 
 
Namun, di balik kontribusi ekonomi yang signifikan yang mereka berikan, PMI masih menghadapi tantangan dan permasalahan yang mengkhawatirkan. PMI sering kali menjadi sasaran eksploitasi dan penyalahgunaan oleh sindikat dan mafia yang tidak bertanggung jawab di dalam dan di luar negeri. 
 
Mereka menjadi korban kejahatan terhadap hak asasi manusia yang melibatkan perdagangan manusia, pemerasan, dan praktik eksploitasi yang tidak manusiawi hingga PMI harus kehilangan nyawa. 
 
Situasi yang mengkhawatirkan menghantui PMI di luar negeri saat ini, dengan laporan per hari rata-rata dua jenazah PMI dilaporkan tiba setiap hari di tanah air dan rata-rata empat hari PMI pulang dalam kondisi yang memilukan. 
 
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dalam kurun tiga tahun terakhir dari tahun 2020-Mei 2023, ada 1.937 peti jenazah PMI yang dikembalikan ke Indonesia dan 3.377 PMI yang kembali dalam keadaan yang sakit, depresi, hilang ingatan atau cacat fisik. Angka ini memberikan gambaran yang memilukan tentang kondisi yang mereka hadapi di negara tujuan mereka, dan memerlukan tindakan mendesak untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan PMI. 
 
Mengurai Duka yang Terus Berulang
 
Kondisi yang terjadi menunjukkan kegagalan sistem yang melibatkan agen tenaga kerja migran yang tidak bertanggung jawab (sindikat), lemahnya pengawasan dan pengawalan, serta praktik pengusaha yang memanfaatkan pekerja migran untuk keuntungan mereka sendiri. 
 
Dalam periode yang sama, dilaporkan sebanyak 90 persen dari 94.736 PMI yang dideportasi dan repatriasi dari Timur Tengah dan Asia yang berangkat secara tidak resmi dan tidak sesuai prosedural (Undocumented). Situasi ini menciptakan keprihatinan yang mendalam dan mendesak perlunya tindakan konkret untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan PMI, serta memastikan adanya perlindungan yang memadai dan pelaksanaan standar kerja yang layak. 
 
Atas problema yang terjadi, Dr. M. Nurul Yamin selaku Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MPM PP Muhammadiyah), dalam pernyataan tertulis, Minggu (4/6), mengecam situasi ini dan mengajukan seruan mendesak kepada pemerintah Indonesia dan negara-negara tujuan untuk meningkatkan perlindungan bagi PMI.  
 
Menghadapi Tantangan yang Mendesak 
 
Merespon persoalan yang dialami pekerja migran Indonesia yang semakin sistemik tersebut, MPM PP Muhammadiyah mendorong dan menyerukan: 
 
1. Menekankan perlunya peningkatan pengawasan dan pengawalan terhadap agen tenaga kerja migran yang tidak bertanggung jawab, serta tindakan tegas terhadap pengusaha yang memanfaatkan tenaga kerja migran. 
 
2. Pemerintah harus memberikan pendidikan dan informasi yang memadai kepada calon PMI tentang hak-hak mereka, risiko yang terkait, dan prosedur yang harus mereka lalui sebelum berangkat. 
 
3. Mendesak adanya perlindungan hukum yang kuat menjadi prioritas utama. Perlunya memperkuat mekanisme pengaduan dan menyediakan akses ke perwakilan hukum bagi PMI yang mengalami eksploitasi, penyalahgunaan, atau pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa diabaikan. 
 
4. Selain itu, dukungan psikososial dan layanan konsuler yang memadai di negara tujuan juga harus tersedia bagi mereka yang membutuhkannya. Namun, solusi yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi dan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah Indonesia, negara-negara tujuan, dan lembaga internasional. Diperlukan dialog dan pertukaran informasi yang intensif untuk mengatasi permasalahan kompleks yang dihadapi oleh PMI. 
 
5. Perjanjian bilateral dan multilateral yang melindungi hak-hak PMI serta mendorong implementasi standar kerja yang adil harus menjadi agenda utama dalam hubungan diplomatik. Saat ini, tidak boleh ada lagi tindakan lamban atau penundaan terhadap upaya perlindungan terhadap PMI.  
  
6. Kini adalah saatnya untuk bergerak bersama, memperjuangkan hak-hak mereka, dan mengubah sistem yang gagal melindungi mereka. Pemerintah perlu menggandeng kekuatan masyarakat sipil yaitu ormas yang bukan hanya memiliki komitmen peduli terhadap permasalahan PMI, tetapi juga memiliki jaringan organisasi secara internasional seperti Muhammadiyah dan NU melalui pengurus cabang istimewa di berbagai negara.  
 
7. Divisi Buruh dan Migran MPM PP Muhammadiyah saat ini intensif bekerjasama dengan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah di berbagai negara dalam melakukan pemberdayaan kepada PMI setempat melalui literasi hukum, keuangan dan soft skill dalam rangka memperkuat kapasitas mereka. 
 

Komentar