Sabtu, 27 April 2024 | 04:30
OPINI

Kisah Wartawan Perang Parahyangan

Kisah Wartawan Perang Parahyangan
Adnan NS foto bersama Hsmzah dan Endah (Dok Adnan)

ASKARA - Adnan NS, mantan pengurus PWI pusat mengajak wartawan muda Kota Bandung Saipullah. Mereka berdua bertandang ke rumah pasangan wartawan sepuh, di Kompleks Perumahan Wartawan, Bale Endah kota kembang ini, belum lama ini.

Dalam obrolan panjang lebar hampir empat jam pada Sabtu malam itu, banyak  hal menarik dikisahkan  pasangan Wartawan  ini.

Awal 1960-an adalah  setengah dekade kemerdekaan RI. Catatan ringan di bawah ini sangat berharga, bagus disimak dan ditoreh  dalam suasa memperingati bulan kelahiran pers di bumi persada ini.

Siapa gerangan mereka ini? Pria berbadan kekar adalah Hamzah Ibrahim kelahiran 12 Juni  1939 dari Dataran Tinggi Gayo Aceh, adalah seorang wartawan, kini hanya mampu mengitari sudut-sudut ruangan rumahnya sejak menderita gangguan dua bola matanya. Pasangan yang di sebelahnya tidak lain, adalah  seorang wartawati imut-imut berkulit putih, tapi masih gesit hingga kini, padahal usianya sudah beranjak 78 tahun. 

Kedua mereka ini adalah wartawan perang era Kemerdekaan Indonesia. Pasangan wartawan ini lebih banyak berkiprah di  Bumi Parahyangan hingga ke Maluku dan Sulawesi bersama sejumlah wartawan lainnya.

Mereka mulai terlibat dalam liputan perang menjelang penghujung Pergolakan DI/TII, era konfrontasi Indonesia- Malaysia 1963-1966 dan disusul masa  Gestapu (Gerakan 30 September) PKI.

Pria kelahiran, Kuta Lintang Aceh Tengah ini menceritakan kisah perjalanan hidupnya sebagai wartawan dimulai pada tahun 1962.

Kala itu, tugas  pertamanya disuguhkan sebagai korektor pada Harian Karya terbitan Sore di Bandung. Surat kabar di bawah asuhan A.K Jakobi, tokoh asal Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh. Media kala itu masih menggunakan mesin hand press. Aksara katanya itu terbuat dari timah.

Memasuki bulan keenam, baru dipercayaan sebagai wartawan bidang Hankam, hukum dan kriminal.

Produk jurnalistik tanpa gambar yang dihasilkan perdananya berjudul "BANDUNG MEMBARA". Hari itu terjadi demo anti China disusul aksi  pembakaran sejumlah sepeda motor, mobil serta toko dilakukan kelompok mahasiswa ITB. 

Berita pertamanya itu  langsung menjadi Headline halaman depan dan terpaksa dicetak ulang malamnya. Sementara surat kabar lainnya baru terbit besok. Sejak itu nama Hamzah moeda itu pun semakin harum.

Selama bertugas di bidang hukum dan kriminal, dirinya sering bertandang ke PT Ika (Ilmu Kepolisian), sekarang  ini menjadi Kopassus. Tahun 1962 itu ABRI itu masih digabungkan dengan Kepolisian Negara.

Sebagai wartawan bidang Hankam, Hamzah  tentu keseringan bertandang ke instutusi ABRI. Bahkan dilibatkan dalam pengepungan kelompok sindikat. Tak heran, suatu ketika Dia diajak untuk ikut latihan di Lanud Sulaiman Margahayu. Di tempat itu, ia dilatih menjadi penerjun  bersama perwira tinggi ABRI lainnya selama tiga bulan.

Dia sempat dibekali keterampilan latihan khusus dalam bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi  Indonesia -Malaysia.

Sukses dalam latihan pertama, Dianya kembali diikutsertakan dalam latihan jajaran RPKAD (RESIMEN). Di tempat baru  ini, Dia dilatih bagaimana  cara menggunakan senjata laras panjang untuk menghadapi musuh. Berkat ketekunannya, akhirnya menjadi  penembak jitu bersama Kepolisian Jawa Barat.

Semua latihan berat di berbagai medan sekalipun, sudah diikutinya, termasuk keterampilan bongkar pasang persenjataan.

Sosok wartawan moeda masa itu benar-benar siap bertempur  menghadapi Medan perang di manapun. Bahkan, dia sukses  melakukan terjun  payung berparasut di berbagai tempat, layaknya seorang prajurit tulen.

Suatu ketika  para wartawan penerjun ini  berlatih lagi dan dikarantina di sebuah hotel mewah dengan suguhan makanan mewah selama sepekan. Tapi tidak diberitahukan ke mana titik operasi  penerjunan sebelumnya. Padahal ketika itu mereka sudah dibekali dengan peta, persenjataan perang, payung parasut dan radio tangan, bekal obatan, ransum makanan lengkap.

"Kiranya, tepat pukul 03.00 dini hari dalam suasana gelap gulita mereka diterbangkan ke titik sasaran.Tapi tiba-tiba muncul cuaca ekstrim  disertai hujan lebat dan kilauan petir  menghias langit  Malaysia, dan gagallah missi penerjunannya itu.Dua Pesawat  hercules yang membawa 300 penerjun harus kembali landing di Lanud semula," kenang Hamzah.

Menurutnya, konfrontasi  Indonesia-Malaysia, diawali Persengketaan tentang penolakan dan penggabungan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak.

Diprakarsai presiden Soekarno.Wartawan Hankam ketika itu selain siapa berperang membela tanah air, juga diharapkan bisa menjalani missi negaranya.

Operasi itu dilakukan demi memuluskan operasi Dwi kora yang dikenal dengan semangat ‘Ganyang Malaysia.’

Sebagai peliput berita di berbagai wilayah operasi militer di masa konflik era 60-an itu, sewajarnya  kepada mereka ini diberi juluki  “Wartawan Perang Parahyangan.”

Selain Hamzah Ibrahim, beberapa wartawan lainya ikut dalam operasi tersebut di antaranya  Arifin Azman dari koran (Warta Bandung), dan Amir Zainun (Pikiran Rakyat), serta Sarjono dari Kantor Berita PIA (Perancis). Mereka langsung direkut menjadi perajuti TNI AU dari pangkat Letnan Dua hingga berpangkat Letkol. ISNA Harahap  (Warta Bandung) justru terjun ke dunia pendidikan. Isna kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bandung dan terakhir menjabat sebagai Hakim Agung dan meraih predikat Profesor.

Selain dari Parahyangan, ikut juga wartawan  penerjun lain dari Jakarta, yakni Aris Tides Katopo, (koran Sinar Harapan) dan Hendro Subroto (TVRI), serta beberapa Media lain ikut mengirim wartawannya, namun Dia tidak mengingat lagi namanya.

Hamzah telah menorehkan histories tentang suka dan duka selama menjadi wartawan dalam sebuah buku berjudul "Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku sebagai Wartawan". Buku otobiografi persembahannya ini ditulis bersama wartawan senior yang tergabung dalam MAWAS (Majelis Wartawan Senior) Jawa Barat.

Hamzah ini tidak saja sebagai penembak jitu dalam dunia peperangan, tapi juga jitu dalam menembak hati putri Parahyangan. Bersama Teteh Endah Suheidah si wartawati Bandung Post yang juga ikut berkiprah sebagai wartawan perang ini, mereka dikarunia  tiga putra dan seorang putri.

Meskipun tercatat sebagai wartawan tanpa tanda jasa, namun hidupnya di usia renta seperti terlupakan. 

Sepintas terlihat tampilan tubuhnya masih tegar. Tentu pria ini pasti ganteng dan  tampan di zamannya.

Usianya memasuki 84 tahun, suaranya, raut wajah dan gerak langkahnya, masih terlihat sisa kegarangan bak  seorang prajurit  kedirgantaraan.

Suami isteri ini kelihatan sangat girang saat dibesuk juniornya Adnan NS dan Saipullah, dalam suasana milad Hari Pers Nasional.

 

Oleh: Adnan NS

Komentar