Senin, 29 April 2024 | 18:11
OPINI

Ketika Digitalisasi Perbankan dengan Metaverse Bertemu

Ketika Digitalisasi Perbankan dengan Metaverse Bertemu
Praktisi Perbankan Abiwodo

Jangan pernah melawan perkembangan zaman dan teknologinya, gaes! Ya, seperti usaha perbankan dan bank sentral untuk 'membunuh' mata uang kripto atau crypto currencies, sejak awal saya sudah berpikir itu akan sia-sia.

Terlebih ketika metaverse tak lagi sekadar konsep, dan teknologi blockchain menjadi basis sistem interaksi dan transaksi yang kian relevan dan digandrungi. Di sinilah kemampuan bergaul dari digitalisasi perbankan diuji!

Sebelum cerita soal hubungan digitalisasi perbankan dengan metaverse ini, saya coba menjelaskan tipis-tipis soal si metaverse, blockchain, Non-Fungible Token (NFT), dan Decentralized Finance (DeFI) dalam pemahaman saya.

Secara sederhana, metaverse itu adalah kehidupan nyata dalam ruang dan waktu virtual. Semua serba virtual: virtual human atau disebut avatar atau perwakilan diri secara virtual, aset virtual, transaksi virtual, uang virtual, dan lain-lain. Pokoknya semua yang ada di dunia nyata ini punya avatar atau perwakilan virtualnya di metaverse. Setiap avatar atau perwakilan virtual itu memiliki sertifikat hak milik yang diakui dunia, yang disebut NFT. Aset digital NFT ini tentu bisa diperjual-belikan.

Semua kehidupan virtual ini berjalan diatas sistem blockchain, sebuah teknologi yang diperlukan untuk transaksi menggunakan kripto -- yang menjadi mata uang di metaverse. Blockchain ini semacam buku keuangan bersama, yang setiap transaksinya bisa terlacak dan dilihat publik. Cara kerjanya mirip Google Docs, semua orang bisa akses secara bersamaan.

Jadi, wajar saja jika perkembangan Web 3.0 semakin masif. Perbedaannya dengan Web 2.0 dan Web 1.0 ada pada tingkat interaksi antara internet dan penggunanya. Web 3.0 atau biasa disebut web3 mendukung ekosistem online yang terdesentralisasi berbasis blockchain tadi. Ihwal Web3 ini referensinya sudah banyak ya, saya tidak akan menjelaskannya secara detail di sini.

Yang pasti, blockchain dan mata uang kripto atau cryptocurrency ini bak induk Decentralized Finance (DeFI) alias desentralisasi sistem keuangan. Sebuah sistem yang selama ini menjadi alasan utama adanya sistem perbankan.

Dari sinilah beberapa pertanyaan kerap muncul ketika kongkow dengan sejumlah kawan. Apakah banking masih diperlukan di metaverse? Kalaupun masih, bagaimana relevansi dan eksistensi perbankan di metaverse?

Ini perkara pergaulan. Agar bisnis perbankan tidak tergerus, digitalisasi perbankan harus adaptif dengan pasar metaverse dan membuat bank tetap relevan dalam arus disrupsi ini. Bagaimana caranya?

Perbankan dan NFT

Saya setuju dengan sejumlah pengamat yang mengatakan ada kelemahan dalam blockchain, yakni keamanan transaski dan keamanan NFT sebagai sertifikat hak milik aset digital. Di sinilah perkawinan perbankan dengan metaverse bisa dilangsungkan. Bank bisa memberikan jasa kustodi untuk penyimpanan NFT, cryptocurrency dan digital wallet-nya.

Biasanya, pemilik atau investor pemula enggan menyerahkan kustodi aset digitalnya kepada pihak ketiga yang tidak dikenal. Mereka tidak mau asetnya tidak terawasi dengan baik. Dengan terlibatnya perbankan, tentu para 'pemain' akan merasa lebih aman jika asetnya disimpan di bank yang mereka percaya.

Apalagi belakangan ini sedang viral fenomena penipuan investasi kripto Pig Butchering Scam, sebuah istilah yang diambil dari para peternak babi. Peternak menggemukkan babi-babinya sebelum disembelih.

Nah, dalam skema penipuan Pig Butchering Scam ini korban 'digemukkan' terlebih dahulu dengan keuntungan. Setelah korban terbuai, kemudian ia 'disembelih' atau dikuras hartanya. Praktik penipuan ini tengah menjadi perhatian dari Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI).

Skema penipuan ini juga terjadi di Indonesia, lho. Tapi, bagi saya fenomena Pig Butchering Scam ini bukan perkara kelemahan sistem yang terkait dengan aset kripto, tetapi murni perkara literasi digital yang masih minim dalam masyarakat.

Sebab itu pula sejumlah bank di luar negeri mulai melibatkan dirinya dalam ekosistem metaverse ini. Di kawasan Asia Tenggara ada Union Bank of Philippines, yang sudah menawarkan crypto trading dan kustodinya. Bahkan di Indonesia sendiri, baru-baru ini bank umum milik pemerintah alias bank BUMN mulai melibatkan dirinya dalam ekosistem metaverse, yakni Bank BNI.

Pada sisi lain, terkait teknologi blokchain, belakangan Bank Indonesia sendiri sebagai bank sentral memastikan kalau Central Bank Digital Currency (CBDC) atau rupiah digital akan memanfaatkan teknologi blokchain. Semua distribusi rupiah digital akan memanfaatkan blokchain.

Langkah ini tentu seiring dengan salah satu fokus sektor Presidensi Indonesia dalam G20, yaitu transformasi digital. Transformasi digital dinilai sebagai salah satu solusi utama dalam menggerakkan perekonomian di kala pandemi dan resesi global, dan sudah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.

Sebab itulah Presidensi Indonesia berfokus kepada peningkatan kemampuan digital (digital skills) dan literasi digital (digital literacy) guna memastikan transformasi digital yang inklusif dan bisa dinikmati seluruh negara.​
 
Ya, kalau bisa 'jalan bareng' kenapa harus bermusuhan?

-

Abiwodo, S.E., M.M.
Praktisi Perbankan

Komentar