Sabtu, 27 April 2024 | 03:53
OPINI

Melestarikan Kebudayaan

Melestarikan Kebudayaan
Batik nasional (Dok Istimewa)

Kemarin, tanggal 2 Oktober banyak orang di Indonesia merayakan Hari Batik Nasional dengan berpakaian batik atau pamer berpakaian batik. 

Di Jakarta beberapa perempuan dari kelas berduit ikut pula merayakan. Sepintas tampak keren trotoar bermotif batik, penanda cinta budaya dus niat melestarikannya. 

Bagi yang tahu filosofi motif parang (termasuk parang barong) tentu akan ngelus dada unjal ambegan gede (tarik nafas dalam2). 

Lha piye, parang notabene motif sakral dan parang barong  menyimbolkan kewibawan, kekuasaan dan kebesaran kok cuma jadi injak-injakan orang lalu lalang dan foto-foto. 

Kentara banget, yang masang motif itu jadi trotoar babar blas gak ngerti batik. Padahal buangga setengah mati batik diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. 

Siapa yang masang? Tentu saja pemerintah, embuh apanya pak mentri PU. Lha kalau pejabat pemerintah pun tak tahu makna motif, lalu dimana letak melestarikannya? 

Batik sama halnya dengan kain-kain tradisional nusantara lain, kebak simbol dan filosofi kehidupan. Pada masanya pun menjadi sarana komunikasi. Kain adalah bahasa simbol kehidupan. 

Untung orang Jawa gak setegas orang Batak yang protes keras ketika ulos yang biasa dikenakan di pundak dijadikan rok oleh desainer terkenal. 

Untung aku Jawa nya cuma separuh, jadi wani ae ngomel-ngomel.

Komentar