Jumat, 26 April 2024 | 12:55
OPINI

Kepada Yang Lima Atau Tujuh Puluh Dua

Kepada Yang Lima Atau Tujuh Puluh Dua
Ilustrasi hipotesis (Dok relaighdowntownener.co)

Pengetahuan tentang bagaimana pihak asing berhasil memasuki satu kawasan untuk kemudian menguasainya telah dimiliki oleh hampir semua orang. Tak berhenti di situ, pengetahuan ini menjadi semacam keyakinan yang dengan mudah bisa di-recall berupa penjelasan rinci dan sistematis.

Namun di saat yang sama, sedikit saja dari kita yang melanjutkan pengetahuan itu ke arah internalisasi. Sebuah proses eskalasi menuju tersentuhnya aspek afektif dan psikomotor. Satu upaya yang tidak membiarkan informasi berhenti hanya pada tataran kognitif.

Lihat saja bagaimana siswa sekolah menengah dengan lancar mampu menerangkan apa-apa saja yang dilakukan, misalnya, oleh Belanda saat perniagaan tak cukup memuaskan hasrat pengerukan keuntungan sebesar-besarnya. Dari cara paling sederhana berbentuk gimmick bernada harta dan tahta, dilanjutkan dengan langkah-langkah intelijen untuk membuat satu pemetaan politik hingga gerakan pemecah-belahan yang membuat kejuangan para pahlawan bersifat lokal-parsial.

Saya memulai tulisan ini dari hipotesa tersebut karena sejatinya, apa yang kita lihat hari-hari ini secara sederhana bisa dikupas dengan hipotesa yang sama. Menukik lebih jauh, saya mengarahkan perbincangan kali ini pada premis bahwa yang membubarkan Forum P Itu adalah umat Islam sendiri.

Menelusuri jalan hidup dan kesejarahan forum yang langsung mengusung nama baru pasca pembubaran adalah menyaksikan adegan melawan hukum secara sporadis oleh sekelompok orang terhadap pusat-pusat hiburan yang tetap beroperasi di bulan Ramadhan. Kafe, restoran, karaoke, bahkan rumah makan pinggir jalan pernah menjadi sasaran aksi agitatif penuh (ancaman) kekerasan mereka.

Dalam perkembangannya, kegiatan yang mereka lakukan merambah ke aksi sosial  kemanusiaan. Bencana alam dan konflik horisontal yang membuka peluang masuknya bantuan finansial, materi dan pendampingan adalah media aktualisasi bagi mereka secara institusi. Bersifat institusional karena  identitas keorganisasian berwujud bendera, pakaian yang dikenakan sampai ucapan verbal yang diteriakkan mutlak mengantar kita ke jati diri mereka.

Dengan tidak usah menjawab pertanyaan mengapa, uniknya, tak satupun pelaksanaan aksi mereka yang mendapat counter attack dari pihak berwenang. Dalam beberapa kegiatan "turun tangan", aparat terlihat di TKP namun hanya berdiam dengan tanpa upaya untuk melerai atau mencegah rencana terealisasi. Kehadiran polisi dan TNI dalam hal ini tak pelak memberi kesan pembiaran bahkan legitimasi atau dukungan moral.

Melompat agak jauh ke waktu dimana pemimpin kabilah itu "terperangkap" dalam kasus cuitan dirty talk yang pada akhirnya melemparkan beliau ke tanah Saudi hingga berapa lama. Situasi perasaan yang satu frekwensi, rindu kampung halaman dan di sisi lan kerindiuan jama'ah akan hadirnya patron mereka secara fisik mengantarkannya pulang ke haribaan bumi pertiwi.

Dari sinilah momentum pandemi menjadi faktor pendukung diterapkannya hukum pro penguasa.  Ormas dimaksud beserta pemimpinnya harus mengakui kekuatan tangan pemerintah sah. Denda, peradilan bahkan 6 nyawa pengikut setia harus dibayar sebagai harga. Terakhir, satu langkah kecil bernama SKB menghentikan langkah mereka. Di sini tidak akan kita permasalahkan bagaimana nama baru mereka proklamirkan secara serta merta.

Keputusan legal formal memang harus lahir dari kepanjangan tangan negara. Dalam hal ini pemerintah melalui Menteri dan jajaran struktural di bawahnya. Namun sosok Ormas yang menjadi bahasan kali ini tidak semata berhadapan vis a vis dengan hanya pemerintah saja. Kerisauan, geram dan antipati dari umat Islam yang jumlahnya paling banyak berperan cukup aktif dan intens. Ungkapan rasa itu bisa dilihat dari lalu lalang kicauan yang dengan mudah dibaca di media sosial, apapun platformnya.

Kenapa justru umat Islam? Karena secara sosio-psikologis, umat beriman lain dalam posisi enggan atau bahkan khawatir mengungkapkan isi hatinya. Secara organisasional, memang tidak kita lihat pernyataan resmi dari pranata Islam yang secara asertif menuntut pembubaran. Namun dari segi jumlah, artikulasi insecure pada hari-hari itu ikut menguatkan pengambilan keputusan yang membuat apapun aktivitas Ormas itu menjadi ilegal.

Kenyataan ini bagi saya cukup ironis karena tiga hal. Pertama, seperti telah diungkapkan di awal tulisan, kita tak kunjung cakap dalam menyikapi kemungkinan masuknya kekuatan asing. Sebuah anasir yang berpotensi semakin jauhnya pencapaian cita-cita kedaulatan dari, oleh dan untuk kita sebagai bangsa.

Kedua, sebagai umat salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia, ternyata umat Islam lebih siap dan rela menjalin ketersambungan dalam kosmos kehidupan dengan kelima agama lain dari pada dengan sesama umat Islam itu sendiri. Penjelasannya sederhana saja, karena ada tujuh puluh dua "umat lain" yang masing-masing berkeyakinan hanya padanyalah surga berada.

Terhadap kelompok dengan iman yang secara definitif berbeda, tidak ada perasaan kontestasi dan kompetisi tentang peribadatan paling benar, konsep teologis dan kemasyarakatan paling murni serta kepemilikan surga. Kalaupun ada, kadarnya berada di tataran rendah karena mudah dipatahkan dengan frasa sederhana "bahwa kita memang beda". Namun untuk sesama umat yang kiblatnya satu, sholat wajibnya lima waktu dan sekali seminggu berkumpul di peribadatan fardlu, kebenaran tertinggi ada di tingkatan "nanti dulu".

Pembicaraan akan bertambah panjang kalau kita menariknya ke ranah perebutan kavling keduniawian. Sebut saja bagaimana simpati dan pengaruh, diaspora gagasan serta bagaimana aliran dana menjadi pertaruhan. Kesemuanya berkelindan di dalam lingkup saudara seiman.

Semakin nyata betapa bergaul karib dengan yang lima jauh lebih mudah dilakukan ketimbang mengerahkan tenaga bagi saudara sendiri yang tujuh puluh dua jumlahnya.

 

 
Oleh: Rio NS

Penulis telah bersyahadat meski belum mampu mengabaikan kerisauannya pada konstelasi umat di dalam agama yang diyakininya.

Bisa dihubungi melalui akun FB @N Prio Sanyoto

 

Komentar