Senin, 29 April 2024 | 19:42
TRAVELLING

Catatan Perjalanan

Pelajaran dan Pengalaman Pertama Berjalan Tanpa Alas Kaki di Baduy

Pelajaran dan Pengalaman Pertama Berjalan Tanpa Alas Kaki di Baduy
Selamat datang di Baduy Luar (Dok Wariani Krishnayanni)

ASKARA - Saat perjalanan backpakeran menuju Kampung Urang Kanekes Baduy di Lebak Banten, tiba-tiba dalam angkot mendekati pintu masuk belakang, ada rasa untuk melepas sepatu saat nanti menginjakkan kaki menuju Baduy Dalam. Berjalan tanpa alas kaki, mirip dengan yang dilakukan warganya.

Awalnya saya ragu, kenapa ragu? Lah saya belum pernah sekalipun berjalan jauh tanpa alas kaki. Membayangkan jalurnya naik turun perbukitan, batu dan sungai, apa telapak kaki saya mampu untuk menjalaninya? Apalagi ini untuk perjalanan sekitar 10-12 kilometer.

Baru berpikir dan menimbang-nimbang, tiba-tiba gerimis dan berlanjut hujan agak deras. Angkot tiba di pemberhentian akhir, saat turun dan melangkah, sepatu saya terasa sangat licin saat menginjak batu makadam. Hemmm, rasa melepas sepatu itu mungkin memang benar-benar harus saya lakukan. Perkara kuat atau tidak urusan nanti, daripada terpeleset jatuh makin ngerepoti. 

Akhirnya dengan bulat hati saya lepas sepatu dan simpan dalam carrier yang saya gendong. Berusaha yakin saja. Perjalanan awal melewati batu makadam, saya sedikit berjingkat-jingkat meringis menahan rasa sedikit sakit saat menginjak batu yang tidak teratur itu. Setelah melewati jembatan penghubung memasuki Pos Cijahe, jalan berubah tanah, ada yang becek karena memang tiap hari hujan, ada yang terlihat sangat berlumut licin. 

Saya coba tetap bertahan dan tetap melangkah pelan dan hati-hati, meski kaki sakit juga belepotan tanah. Senang banget bila ketemu aliran air meski sangat kecil, lebar 30 sentimeteran, yang menyeberang di jalur, kesempatan saya membasuh dan mendinginkan telapak kaki. Ternyata benar, tanpa alas kaki lebih menyelamatkan.

Jalur berubah-ubah, dari batu makadam, tanah kering, tanah becek hingga tanah berlumut, meniti jembatan bambu juga air mengalir dari sumber yang entah hulunya di mana. Semua coba saya jalani dengan gembira hingga sampailah di kampung Cibeo.

Esok paginya, tetap saya putuskan berjalan tanpa alas kaki menuju kampung Baduy Luar, yaitu Kadu Gede mendekati pintu masuk Ciboleger, diantar Ayah Yardi warga Cibeo. 

Perjalanan dari Cibeo lebih menantang, naik turunnya lebih tajam, sungainya juga lebih lebar yang harus diseberangi meski dangkal. Makin gembiralah hati saya, karena airnya sangat bersih, bening dan dingin. Bisa sering-sering basuh kaki, biar adem dan bersih. Rasanya pengen nyebur aja sekalian mandi.

Saya tidak tahu, ternyata Ayah Yardi memperhatikan saya dan bertanya "apa kakinya tidak sakit?". Saya berhenti dan menoleh, lalu saya jawab "Hemmm, sakit sih ada tapi masih bisa ditoleransi, wajar kalau saya merasa sakit karena ini baru pertama kalinya saya jalan tanpa alas kaki dan sejauh ini, saya ingin merasakan apa saja yang bisa dipelajari dengan jalan tanpa alas kaki, sudah saya niatkan dari awal kemarin saat mau masuk area Baduy."

Saat di daerah kampung Cibongkok, Ayah Yardi menjelaskan bahwa ini namanya Tanjakan "Peres" (maaf kalau salah ejaan). Kenapa namanya Tanjakan Peres? Ternyata banyak pecahan batu macam kerikil, tapi sakit banget di telapak kaki menuju panas rasanya maka itu disebut Peres. Dan saya juga merasakan memang sakitnya beda dengan batu yang sudah saya lalui sebelumnya. Kalau pakai sepatu, harap lebih hati-hati karena mudah terpeleset.

Saya pribadi penasaran dan ingin tahu, apa alasannya warga Baduy Dalam tetap memegang teguh berjalan tanpa alas kaki, walaupun mereka pergi hingga Jakarta. Kalau Baduy Luar sudah menggunakan sandal juga sepatu. Untuk Baduy dalam itu larangan, termasuk naik kendaraan.

Ternyata pelajaran dari pengalaman yang saya rasakan adalah: Pertama, kita seperti di pijat refleksi, semua inti syaraf dalam tubuh berada di telapak kaki dan jari-jari. Titik-titik di telapak hingga jari meliputi jalur ginjal, liver, jantung, paru-paru, mata, semua organ tubuh kita. Tubuh rasanya jadi lebih segar, meski setelah beberapa hari telapak kaki masih saja terasa sakit. 

Kedua, kita menjadi lebih waspada untuk memperhatikan apa saja yang akan kita injak, mungkin ada binatang kecil berbisa, batu atau mungkin tonggak tajam, intinya kita lebih memperhatikan tiap langkah. Konsentrasi secara penuh dengan kesadaran. 

Ketiga, kita bisa bersentuhan langsung dengan bumi tempat kita lahir dan tinggal. Lebih mudah merasakan lembutnya lumpur, tajamnya batu, empuknya rumput hingga sejuknya air yang kita lewati. 

Melakukan seperti warga Baduy Dalam tanpa alas kaki seterusnya, tentu sulit dan tidak mungkin bisa kita lakukan, paling tidak saya sudah merasakannya, dan harusnya tetap dilakukan sekali seminggu, ataupun sebulan sekali kalau tidak ada waktu, Tapi tetap sesekali harus kita lakukan agar tubuh sehat, ini refleksi gratis dari alam semesta.

Coba, rasakan dengan baik dan buktikan apa yang saya alami. Jangan mudah menyerah kalau ada rasa sakit di awal, lanjutkan, cuman sebentar kok sakitnya, setelahnya telapak kaki kita akan terbiasa. Maka itu orang di desa sehat-sehat ya, selain udaranya memang bersih.

Salam satu jiwa untuk sehat jiwa dan raga, bersentuhan langsung dengan alam memang luar biasa.

Komentar