Sabtu, 27 April 2024 | 08:36
TRAVELLING

Catatan Perjalanan

Backpakeran, Menjelajah dan Mengenal Suku Baduy Lebih Dekat

Backpakeran, Menjelajah dan Mengenal Suku Baduy Lebih Dekat
Selamat datang di Baduy Luar

Hari pertama, 4 September 2020

Berdua bersama mbak Jenny Mahastuti (Pelukis wanita yang juga menulis tentang Baduy Dalam) yang sudah mengenal banyak jalur selama 16 tahun. Ada 1 lagi sebetulnya yang sudah riwa-riwi selama 46 tahun dan sangat mengenal Baduy yaitu bang Don Hasman, sayang tidak bisa gabung karena covid ini.

Kami berdua naik kereta Commuter Line dari Tanah Abang pukul 07.00 menuju Rangkasbitung, waktu yang di butuhkan sekitar 1 jam 45 menit. Kami sampai di stasiun Rangkasbitung pukul 8.45. Keluar stasiun penuh dengan abang ojek motor yang menawarkan diri ke Ciboleger. 

Stasiun Rangkasbitung dikelilingi pasar tradisional, kami sempatkan berbelanja ikan dulu untuk dimasak bersama-sama di Baduy. Keluar pasar ambil arah kiri, jalan sekitar 300 meter menuju angkot jurusan Aweh, dulu kabarnya angkot ini mangkal di Stasiun. 

Kami sempatkan untuk makan pagi dulu deh, ada sate sapi pinggir jalan, ngobrol sedikit dengan penjual yang ternyata suaminya orang Surabaya dekat Jembatan Suramadu, ngobrolpun jadi makin seru. Si ibu berjualan disini sejak tahun 2001. Hebat, 19 tahun tekun dan bertahan, mampu membiayai 4 orang anaknya. Untuk 2 orang kami bayar makan hanya 25.000, murah meriah kan, kenyang pula.

Setelah makan baru cari angkot warnanya merah menuju terminal Aweh. Pertama jalan diantara pasar yang sempit hanya cukup 1 mobil,  setelah keluar berubah berbeton dengan lebar 4 meter. 20 menit sampailah kami di terminal Aweh, biaya 5.000 per orang, dan kami harus pindah menggunakan mobil elf. 

Dari Terminal Aweh butuh waktu 2-2.5jam ke Cijahe. biaya antara 40.000-50.000 per orang, harus sabar nunggu penumpang yang lain, karena kami hanya berdua. Kalau rombongan bisa lebih cepat berangkat dan lebih murah.

Sebetulnya lebih dekat ke Ciboleger hanya 1,5-2 jam sebagai pintu depan, jarak jalan kaki ke Baduy lebih jauh sekitar 10-12 kilometer,  normal jalan kaki ditempuh 3-4 jam karena kondisi jalur naik turun, bila via Cijahe atau Cirinten sebagai pintu belakang, jarak hanya 3km. Banyak jalur juga dari pintu belakang ini,  bila lewat gunung Cikeusik sekitar 2 jam, lewat leuwipokol 1,5 jam. Muara Cipicung atau Ciemes 45 menit. Untuk Cikeusik, merupakan jalur khusus hanya untuk Pu'un (ketua adat Baduy dalam). Pilihlah jalur Cibeo dari sinilah ada percabangan via Leuwipikol atau Muara Cipicung.

Tepat pukul 11.00 mobil elf kami meninggalkan terminal Aweh dengan tambahan 1 penumpang, di tengah perjalanan baru dapat tambahan 1 orang lagi, dan 2 orang setelahnya. Masih sepi banget efek pandemi ini.

Melewati Desa Pasirokok kecamatan Cimarga, banyak saya temukan perbukitan yang dipapras, ada tulisan menjual pasir. Ya sebagian besar perbukitan semacam batu kapur, dan ada perusahaan pemecah batu disini.

Memasuki desa Cirinten gerimis kecil tiba, jalan berubah menjadi aspalan sedikit mengecil, lebar jalan hanya 3 meteran dan banyak terkelupas lobang sana-sini. Jadi harus lebih perlahan dan hati-hati.

Pukul 13.15 kami sampai pada desa Keboncauk kecamatan Bojongmanik, tempat pemberhentian akhir, juga sebagai Pos 1. Gerimis makin rapat, seperti penyambutan kedatangan kami saja. Sembari istirahat, kami makan bekal yang kami bawa dan ngopi dulu tentunya.

Selesai makan siang, gerimis juga sudah berhenti. Perjalanan kaki dimulai, saya memutuskan melepas sepatu, dan berjalan tanpa alas kaki seperti warga Suku Baduy Dalam. Beruntung juga saya, jalan lumayan licin, karena hampir tiap hari sudah diguyur hujan, tanpa sepatu lebih menyelamatkan. Memang masih mendung saat kami menyusuri jalan berkelok ini. 

Setelah 15 menit kami temukan jembatan Cijahe bambu panjang pertama dan disitulah pos 2 desa Kenekes, Kecamatan Leudamar, Kabupaten Lebak untuk melaporkan diri. ada 2 arah, kekiri jalur Cibeo, kekanan jalur Cikeusik, kami tulis dulu nama dan asal kami, tentunya foto tidak boleh ketinggalan. Pos ini masih berada di Baduy Luar, jadi masih di perbolehkan menggunakan kamera.

Kami memilih jalur Cibeo, jalan kelak-kelok seperti biasa kalau kita ke gunung, desa pertama yang kami lalui yaitu Cisadane, ada beberapa lumbung padi (Leuit) saya temukan di ladang jauh dari rumah tinggal, setelahnya kampung Sibagelut, disini saya temukan lesung yang sangat panjang di dalam bangunan beratap dan beralaskan tanah tanpa dinding. 

Semua punya lumbung padi yang terpisah dari pemukiman mereka, untuk yang ketiga yaitu kampung Ciemes desa terakhir dari Baduy Luar yang baru dibuat pada sekitar 2016, dari desa ini kami temukan jembatan bambu kedua Muara Ciberani, setelahnya melewati hutan, ada sengon, Kirai, aren dan ilalang liar, Tidak jauh dari kampung terakhir kami temukan jembatan bambu ketiga disebut Muara Cipicung, dan inilah batas akhir Baduy Luar memasuki Baduy Dalam. 

Saya sempat berfoto dan memfoto mbak Jenny di jembatan ini, dan tiba-tiba hape saya jatuh ke tanah, seolah-olah diingatkan untuk segera menyimpannya. Dan memang di lokasi inilah detik terakhir kita diperbolehkan menggunakan kamera. Karena setelah melewati jembatan, kita masuk ke area Baduy Dalam. Ada beberapa aturan yang sudah saya tahu sebelumnya, maka jangan sekali-kali melanggar aturan adat mereka. Mari kita hormati setinggi-tingginya. Simpan hape dan matikan saja, daripada terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.

Oke kita lanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Area Baduy Dalam dipercaya sebagai tanah murni, kecilkan volume suara, dan jangan ketawa ngakak. Slow dan lembutkan hati menapaki jalan sepi, nikmati sepenuh jiwamu. Tengoklah kanan kiri banyak pohon menari-nari dan banyak jenis yang unik. Banyak pohon pisang tanduk atau agung ditanam di sini, ada juga pisang berdaun merah dengan kulit buahnya sedikit merah juga. 

Infonya pisang ini digunakan saat acara sunatan anak laki-laki di Baduy Dalam, atau untuk upacara-upacara lainnys. Selain itu sebagai penghasil Kencur, Jahe, Ranji (Asem manis) yang hanya bisa dipanen 4 tahun sekali, jengkol, rotan dan banyak juga pohon durian, sayangnya bukan musimnya berbuah. 

Bangunan pertama yang saya temukan adalah Saung Huma (Rumah Ladang), setelahnya ada kampung (Lembur) Cikartawarna, melewati jembatan bambu yang menggabungkan ke Lembur Cibeo. Kami  tiba pukul 15.45 dan menginap di sini. Baru saja kami duduk, hujan deras datang. Bersyukur selama perjalanan dari Cijahe hingga Cibeo kami diberikan cuaca terang.

Bentuk bangunan seluruh rumah panggung di Cibeo sama persis, ada sekitar 100 lebih rumah, semua terbuat dari kayu dengan dinding anyaman bambu dan beratap daun kirai (sagu), termasuk pembagian ruangan hingga perabot yang digunakan. Tidak ada kasur apalagi tempat tidur, tidak ada sofa apalagi tempat duduk. Baik itu sebagai Pu'un (tetua adat), Girang Serat (wakil)  maupun Jaro (semacam RT atau RW) atau warga biasa, semua tidak ada yang beda selain tinggi tangga rumahnya saja sebagai penanda. Semua rumah menghadap Utara-Selatan, kecuali rumah Pu'un menghadap ke Timur

Semua pakaian yang digunakan, hanya berwarna Hitam dan Putih saja. Tidak ada beda dari anak-anak sampai yang tua, baik laki ataupun perempuan. Baduy Dalam dikenali dengan ikat kepala kain putih.

Rumah adat Lembur Cibeo berbentuk segiempat, dibagi 4 bagian yang punya nama masing-masing. Kita urut dari Belakang dengan posisi kita menghadap ke dalam rumah. 

Di dalam rumah hanya ada 1 ruangan Utama semacam kamar tidur yang disebut Imah berada di sisi kiri belakang, ada tungku api dalam ruangan ini, di sebelah kamar utama disebut Tepas (sisi belakang kanan), ruang kiri bagian depan kamar disebut Pangkeng dan bagian sisi kanan depan disebut Sasorok. Bagian Teras di sebut Papange, karena semua rumah berbentuk panggung maka ada tangga, dan tangga ini disebut Taraje

Di dalam Imah kamar utama ada 1 tungku api untuk memasak sekalian untuk tidur Ayah dan Ambu (kamar utama), bila dalam rumah ada tungku api lagi dibagian Tepas, itu artinya ada ada 2 rumah tangga di dalam 1 rumah. (Karena anak menikah dan tinggal bersama)

Untuk laki-laki yang akan menikah, ada aturan bahwa 3 bulan sebelumnya, mereka diwajibkan magang di Huma (ladang) dan tinggal di Saung Huma. Sementara harus meninggalkan Lembur (kampung). Belajar bercocok tanam mengolah tanah. Bagus juga ya, agar mereka siap dalam berkeluarga.

Setelah ngobrol dan makan bersama Ayah Yardi (Incuk Yadi) sebagai tuan rumah inap kami di Cibeo pukul 18.00 Lembur (kampung) mulai sangat sepi, semua warga sudah menuju peraduan. 

Tinggal saya saja yang belum bisa tidur. Saya keluar rumah, menikmati sisa purnama yang masih terlihat makin jelas dari Lembur Cibeo yang gelap gulita, tidak ada lampu listrik, yang ada hanya lampu minyak goreng kecil dalam wadah mangkuk diletakkan di tengah ruangan rumah. 

Indahnya malam purnama yang jadi terasa sangat terang benderang di gelap gulitanya kampung Cibeo, jadi mengingat masa kecil saya. Rasanya sayang sekali meninggalkan terangnya bulan malam ini di keadaan yang luar biasa dan sudah tidak mudah didapatkan di tempat lain, tanpa gangguan cahaya lampu. 

Cukup saya abadikan dari mata dan ingatan saya saja. Meski tidak akan ada yang tahu andaikata saya memotretnya malam itu, tapi saya tidak akan lakukan, saya tidak mau melanggar aturan yang sudah diberlakukan. Setelah puas menikmati, menjelang pergantian hari, baru saya bisa memejamkan mata. Maturnuwun, terimakasih Gusti dan alam semesta atas anugerah yang luar biasa.

Hari kedua, 5 September 2020

Pukul 10 pagi kami bersiap meninggalkan Cibeo. Sesuai aturan adat,  pengunjung hanya di ijinkan menginap semalam saja. Kami jalan menuju Kampung Kadugede (Arah Ciboleger) yang pada bulan September 2019 lalu sempat terbakar dan habis tanpa sisa satu kampung ini.

Kami melewati jembatan bambu sungai Cibeo, pada ujungnya tersedia pancuran untuk mandi kami kemarin dan pancuran ambil air minum, langsung nanjak lumayan lalu datar sedikit, lalu nanjak lagi, ada sekitar 3 tanjakan yang harus kami lalui serta 2 aliran air selebar 50 sentimeter. Kami lewat pinggiran hutan lindung lalu belok ke kiri menuju gunung Pagelaran. Hutan sungguh luar biasa rimbun dan terjaga. Sumber air berada dimana-mana. Hari ini saya tetap memutuskan berjalan tanpa alas kaki. Rasanya??? Lumayanlah, hahaha. Biar sama rasa.

Setelah titik tertinggi gunung Pagelaran, jalan turun sedikit tajam. Hati-hati semua jalur licin, karena jalur tanah dan sudah masuk musim hujan. Perlahan lebih baik daripada gedebug jatuh tergelincir. 

Dari Gunung Pagelaran kami masuk kampung Cibongkok, jalur biasa tetap naik turun karena melewati beberapa bukit. Ada 1 tanjakan atau turunan disebut tanjakan "pheres" karena banyak kerikil kecil yang bikin telapak kaki benar-benar sakit bila tanpa alas kaki. Kalau menemukan jembatan bambu yang cukup panjang dengan sungai cukup lebar, itu artinya kita memasuki Baduy Luar. Naaah disinilah Kamera boleh digunakan kembali. 

Setelah Jembatan Bambu Cibongkok kami melipir dipinggiran sungai dan memilih jalur menuju Danau Dandang. Sesuai namanya memang ada Danau dengan air tenang dan luas, entah berapa luas danau ini. Kami berhenti sebentar hanya berswafoto. Ada bekas kulit kijing (semacam kerang yang tipis pipih oval itu), bisa langsung dibakar dan makan di sini.

Kunjungan pertama saya ke Baduy ini sungguh seru. Lintas dari pintu belakang Cijahe, keluar di pintu depan Ciboleger. Dari jalan batu, tanah licin, becek dan pulang menyusuri pinggiran sungai dan menyeberang beberapa sungai. Saking isengnya saya hitung tuh berapa kali harus menyeberang aliran air, baik yang dari lebar 50 sentimeter hingga yang 3 meteran, semua jumlahnya ada 21,  Lengkap dah serunya penjelajahan ini.

Tidak jauh dari Danau Dandang ada 1 kios warung, kami berhenti ngopi dan minum kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Lalu melanjutkan perjalanan menuju kampung Campaka. Di sini baru saya temukan perajin tenun, sayang tidak banyak yang bisa saya temukan. Karena para warga sedang sangat sibuk persiapan tanam di huma serang (ladang bersama). Banyak rumah kosong.

Kami lanjut ke kampung Kadujangkung, cukup 5 menit dari kampung Campaka, lalu kami ke Kampung Kadugede yang bersebelahan. Tepat pukul 13.55 kami tiba pada tujuan akhir kami di hari kedua ini. Kami ingin menemui Ki Pantun dan bermalam disini.

Sepanjang perjalanan dari Cibeo hingga Kadugede langit sangat cerah dan panas sedikit menyengat. Sekitar 10 menit kami duduk dan membongkar Carrier kami, tiba-tiba mendung hitam dan hujan deras. Lagi-lagi kami beruntung tidak terguyur hujan di sepanjang 5 jam perjalanan kami. Hujan berlangsung cukup lama, halilintar menggelegar dan baru berhenti pada pukul 20.00an. Kami makan malam bersama keluarga Ki Pantun, beserta istri, anak dan menantu serta 2 cucunya. Serasa makan bersama keluarga sendiri. Setelahnya kami ngobrol ringan saja  bertukar cerita, lalu pk. 21.30 kami memutuskan istirahat dan tidur.

Hari ketiga, 6 September 2020

Pukul 08.00 kami meninggalkan Kampung Kadugede untuk pulang. Jalan turun sekitar 10 menit sampailah kami di rerimbunan pohon bambu dengan jembatan kecil dan sederhana, disinilah batas antara tanah Ulayat Baduy Luar dengan kampung warga di luar Baduy. 

Jalan turun terus dengan batu tertata selebar 1 meter masuk kampung Cisemuet jalan menanjak sedikit dan sampailah kami di Ciboleger. Ada pohon coklat, cengkeh dan tentunya durian. Cari mobil menuju Rangkasbitung biaya 25.000 per orang. Perlu di ketahui, jam akhir kendaraan ke Rangkasbitung pukul 13.00, jangan sampai ketinggalan. 

Saya belum sempat ke jembatan akar di Gajebo karena terlalu banyak pengunjung di masa pandemi, jadi saya putuskan lain waktu saja, semoga bisa menjelajah sisi jalur lain.

Petualangan jelajah Baduy pun berakhir, dan kami berpisah di Stasiun Tanah Abang.

Semoga desa adat ini bisa terjaga dengan sebaik-baiknya sebagai paru-paru bangsa, bawalah pulang seluruh bungkus makanan kalian, biasakan membawa tumbler untuk di isi ulang, kabarnya air di area Baduy ini sangat baik buat tubuh, gak usah bawa air kemasan. Air berlimpah tersedia di semua jalur.

Indonesia memang luar biasa, indah dan kaya budaya. Mari kita jaga bersama.

Komentar