Jumat, 26 April 2024 | 10:12
COMMUNITY

Ikon: Seni Kekristenan Kuno yang Unik

Ikon: Seni Kekristenan Kuno yang Unik
Ilustrasi ikon gereja (Pxhere)

ASKARA - Jika kita memasuki sebuah gereja Timur, kita akan melihat bagaimana jemaat-nya menyalakan lilin, berdoa sejenak, kemudian mencium  gambar-gambar suci. Gambar-gambar ini dikenal dengan nama Ikon. Bagi orang awam, ikon adalah hal yang biasa atau sekedar sebuah ekspresi seni. Akan tetapi bagi penganut Kristen Ortodoks, Gereja Katolik, dan gereja-gereja Timur lainnya, nilai sebuah ikon lebih tinggi dari sekedar seni.

Ikon berasal dari bahasa Yunani \'eikon\' atau "gambar", yaitu gambar suci.  Gambar ini melukiskan Kristus, Maria atau orang-orang kudus, dan sangat dihormati dalam liturgi Timur Kristen. Di dalam gereja ortodoks, terdapat juga Iconostasis yaitu dinding berpola, yang terdiri dari ikon-ikon  yang disusun dalam urutan tertentu: Kristus yang merepresentasikan wajah Allah, Perawan Maria, Malaikat, dan Santo Santa.

Konon, Ikon pertama berasal dari abad ke-5 sampai 6 Masehi: setelah bahaya penganiayaan Kekaisaran Romawi berakhir, orang-orang Kristen memanifestasikan iman mereka juga melalui gambar-gambar yang menyebar ke seluruh agama Kristen. 

Akan tetapi mereka harus berhadapan dengan gerakan ikonoklasme, sekitar abad VI-VII, yang melawan gambar-gambar suci karena ada ketakutan  bahwa penghormatan pada ikon-ikon ini berubah menjadi penyembahan berhala. Konsili para Uskup di Nicea tahun 787-lah yang membuat penciptaan dan penggunaan ikon-ikon itu kemudian menjadi sah.

Ikon biasanya dibuat diatas sebilah papan. Permukaan kayu ini yang digali, dipasang kanvas, diberi sketsa dan diwarnai dengan warna emas dan kemudian diberi warna lain secara bertahap. Setiap warna memiliki makna simbolisnya sendiri dan terdiri dari campuran tanah dan pigmen alami yang dikombinasikan dengan kuning telur dan cuka. Pada akhir pekerjaan, warna-warna ditetapkan dengan vernis berdasarkan linen, resin, dan amber alami.

Ikonograf atau pelukis ikon pun bukan sembarangan seniman. Dia harus seorang beriman, biarawan, dan sungguh taat pada Tuhan. Sebelum melukiskan sebuah ikon, dia harus berpuasa dan berdoa selama tiga hari. Hal ini bertujuan agar dirinya ditembusi dan diilhami oleh Tuhan sehingga pekerjaannya dapat menjadi manifestasi dari kemuliaan-Nya.

Penegasan aliran kekristenan pada tahun 1054, antara Roma dan Bizantium menjadi penyebab hilangnya makna ikon. Lalu muncullah aliran seni kekristenan yang cenderung ‘dibela’ seperti karya  Giotto, Raffaello, Michelangelo, Caravaggio dan lain-lain.

Seni-seni sakral ini tidak terlalu dipentingkan dalam aliran Protestan. Bagi kaum Calvinis, satu-satunya gambar yang dapat ditoleransi adalah gambar-gambar yang mereproduksi Firman Tuhan. Lukisan di gereja-gereja Katolik yang kemudian menjadi Reformasi, ditutupi dengan jeruk nipis, bahkan dihapus.

Syukurlah, seni kuno ini masih bisa kita nikmati di beberapa gereja, bahkan ada  kursus-kursus tentang ikon. Artinya, seni religi ini tetap dihormati hingga saat ini. Jika Anda sedang berada di Roma, nikmati "Madonna dari Clemenza", yaitu ikon jenis Kyriotissa atau Basilissa (abad ke 6 - 7) di Basilika Santa Maria di Trastevere. Mau lihat yang lebih kuno? Agendakan untuk berkunjung ke grafiti kuno "Alexamenos" di Bukit Palatino di kota Roma, atau "il Buon Pastore", ikon dari abad ke-3 di Catacombe San Calisto di pinggiran kota Roma. Bisa juga melihat "Cristo Pantokrator" di sebuah biara kuno Santa Catarina di kaki gunung Sinai, Mesir.

Komentar