Minggu, 28 April 2024 | 13:21
OPINI

Di Antara Hidup dan Mati

Di Antara Hidup dan Mati
Ilustrasi hidup dan mati (Majalahharmoni.com)

ASKARA - Tiap hari, tiap jam, tiap menit bahkan persekian detik ada yang lahir adapula yang mati. Semua adalah kehendak Illahi (sebut saja begitu). 

Kebersamaan selalu membuat sayat pilu kesedihan bila tiba-tiba harus berpisah karena kematian. Merasa kehilangan, sedih mendalam hingga tetesan air mata tak berkesudahan terkadang sulit dihentikan. Larut dalam perasaan karena kehilangan yang dianggap miliknya. Kenangan indah, suka dan duka datang silih berganti mempermainkan hati.

Setiap insan tanpa terkecuali akan mengalami dan memang harus menjalaninya. Mendapatkan atau mempunyai sesuatu, hidup bersamanya lalu hilang pada waktunya sebagai proses alami.

Banyak orang sulit menerima termasuk saya, itu wajar saja dan manusiawi. Karena kita di bekali rasa yang lengkap, mulai gembira suka cita, amarah bahkan kesedihan luar biasa. 

Pertama kalinya saya harus kehilangan orang yang paling penting dalam hidup saya, disaat usia 23 tahun. Berat dan bingung sedih luar biasa, merasa kehilangan pegangan dan sandaran.

Tapi hidup terus berjalan, tanpa mau tahu perasaan sedih yang sedang menimpa saya. Kesedihan mendalam membawa saya pada perenungan, kenapa hidup ini harus dipertemukan lalu di pisahkan begitu saja dengan kematian. Kenapa saya ditinggalkan selagi saya merasa belum siap. Kenapa dan kenapa

Mungkin karena itulah sang Budha mencoba mempelajari untuk melepas kemelekatan, untuk membantu perasaan agar tidak terpuruk dalam kesedihan dan jadi penderitaan.

Sungguh berat di awal, dan tidak mudah melepas ikatan. Suatu hari otak saya jadi terbalik, mungkin ini yang disebut "pencerahan" (tapi entahlah). Saya tiba-tiba  seolah di ingatkan, bahwa manusia yang lahir dibumi ini punya tugas tersendiri. Bila saatnya tugas itu dianggap selesai maka seseorang boleh kembali pulang. Bebas dari beban tugas hidupnya.

Selayaknya seseorang yang dikirim  untuk menyelesaikan sebuah misi, misi apapun itu. Bila misi selesai maka dia bisa kembali ke rumah Illahi (Rumah Mulia itu). 

Dengan kata lain sang bayi dikirim, pasti memiliki misi tersembunyi, tumbuh dengan segala tempaan untuk menyiapkan pribadi sesuai dengan kadar beban tugas yang harus dia selesaikannya nanti. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan, dan memiliki peran selayaknya dalam bidak catur permainan yang kita kenal.

Memang terlihat simple cara berpikir saya, tapi ini sungguh membantu. Membantu diri saya untuk melepas kemelekatan dan pada akhirnya saya justru memberikan selamat kepada kematian. 

"Selamat jalan, berbahagialah kalian."

Tugas misimu dinyatakan berhasil terselesaikan bagi orang-orang yang meninggal secara wajar sesuai waktu yang di tetapkan dan dipersilahkan pulang. Tentang bagaimana ia mati, itu hanyalah sebuah jalan. Yang paling penting bukan karena bunuh diri, ini urusannya lain. Artinya dia tidak sanggup menyelesaikan misi, ingin kembali sebelum waktunya. Begitulah kira-kira. Semoga kita diberi kekuatan untuk menyelesaikan tugas misi kita masing-masing.

Kehilangan kedua disaat saya usia 32 tahun. Saya baru sadar setelah menuliskan ini. Jadi lucu juga, angka itu hanya di bolak balik. Pertama di usia 23 tahun dan kedua pada 32 tahun. Tapi sungguh beda rasa, karena saya telah menemukan cara melepas ikatan itu. Sedih itu pasti ada karena berpisah, tapi bahagia itu menjadi lebih besar untuk melepas kepergiannya. Hidup saya menjadi lebih ringan menghadapi dan menerimanya, semua yang terjadi menjadi terasa biasa saja.

Selebihnya akhirnya saya menyadari lebih dalam bahwa orang tua, saudara bahkan anak yang berhubungan sedarah dengan kita yang kita sebut keluarga, sesungguhnya "bukan milik kita".  Mereka semua hanya sebagai jalan untuk kita datang, dan mendatangkan ke bumi.

Bukan berarti kita tidak perlu menghargai dan menghormati. Karena lewat merekalah kita bisa ada dibumi, karena didikan dan tempaan merekalah kita tumbuh dan dipersiapkan untuk punya pribadi yang kuat agar bisa menyelesaikan tugas kita nanti.

Orang tua kita, bisa saya ibaratkan  sebuah tempat pelatihan ataupun sekolah, tempat kita berguru. Tentunya kita harus sangat menghormatinya, jangan sampai kualat jadi anak atau murid durhaka.

Kembali lagi tentang tidak ikut memiliki dan memang tidak satupun kita miliki, manusia sangat lemah tanpa daya dan tanpa punya apapun. Benar-benar tidak punya hak apapun walaupun sepucuk kuku.

Kenapa saya bilang begitu?
 
Karena akhirnya saya mengerti bahwa jiwa atau roh yang berada dalam tubuh ini, ternyata juga bukan milik saya, bukan milikmu juga. Nyatanya saya tidak punya hak dan tidak bisa mempertahankannya bila waktunya sudah tiba. Apakah ada yang tidak sependapat dengan saya? 

Kalau dalam hidup terlahir di rumah gede, mobil mewah, kehidupan yang nyaman, itu hanya bumbu dan bonus dari sebuah misi dan jangan membuatmu sombong, karena sejatinya tidak ada bedanya dengan yang miskin, tidur dikolong jembatan. Karena yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani, menyikapi dan mensyukuri apapun yang telah dipilihkanNya sebagai tempat kita berguru menempa diri.

Maka itu tidak baik membanding-bandingkan sekolah asal tempat kita berguru, karena semua punya maksud tersendiri. Begitu juga untuk yang terlahir pada keluarga yang kurang mampu, jangan pernah iri hati pada mereka, karena dimanapun sekolah kita, semua punya tingkat kesulitan soal ujian (baca masalah) dengan kadar masing-masing. Sesuai dengan peran tugas yang harus kita emban dan selesaikan.

Urip mung sak dermo nglakoni, lakonono sing ngati-ati. (Hidup hanya menjalani, jalani dengan sangat hati-hati)

Salam satu jiwa

Komentar