Minggu, 28 April 2024 | 00:40
COMMUNITY

Menguak Misteri Gunung Penanggungan

Menguak Misteri Gunung Penanggungan
Gunung Penanggungan. (Dok. Warianni Krishnayanni)

ASKARA - Bentuknya unik satu puncak tertinggi dengan delapan bukit mengitarinya, terletak pada delapan penjuru mata angin dan sangat menarik perhatian masyarakat masa lalu. Dianggap sebagai gunung Mahameru yang ada di Jambudwipa (India). Menurut kosmologi Hindu-Budha Mahameru adalah gunung "Suci". Akhirnya Gunung Penanggungan pun dianggap sebagai gunung yang suci, dan tidak mengherankan kalau kemudian ditemukan banyak candi, situs dan bangunan yang disucikan di satu lokasi ini.

Satu puncak tertinggi yaitu Puncak Pawitra 1653 meter di atas permukaan laut. Sedang empat bukit yang mengelilingi di bawahnya yaitu Gajah Mungkur (1087 m), Bekel (1238 m), Kemuncup (1227m) dan Sarah Klopo (1275 m). Sementara empat sisanya yang lebih rendah lagi yaitu bukit Semodo (719 m), Wangi (987 m), Bende (927 m) dan yang terakhir Jambe (747 m).

Meski gunung ini tidak tinggi, membutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai puncaknya empat hingga lima jam. Maka memang jadi benar ini adalah gunung yang tidak bisa diremehkan, sebagai jalan spiritual karena itu ada bagian jalur yang kita kenal sebagai jalur pertapan (jalur para resi atau pertapa) 

Mitologi Penanggungan sebagai Mahameru tertulis pada sastra Tantu Panggelaran yang mengisahkan perpindahan Gunung Meru dari India ke Jawa. Saat itu para dewa memutuskan untuk memindahkan gunung Mahameru yang suci ke Pulau Jawa. Untuk memaku Pulau Jawa agar stabil dan tidak bergoyang.

Puncak Mahameru yang setinggi langit dipotong dan digotong ramai-ramai menuju Pulau Jawa. Dalam proses pemindahan, banyak bagian tercecer menjadi Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuno, Welirang juga Semeru. Sedang bagian puncak tertingginya lepas dan berdiri sebagai Gunung Pawitra yang sekarang kita kenal sebagai Penanggungan. 

Semua tertulis pada prasasti dan naskah kuno. Ternyata Gunung Penanggungan sudah dikenal sejak abad ke-10 Masehi. Terbukti dengan adanya Patirthan Jolotundo bertuliskan angka tahun 977 Masehi (899 tahun çaka). Diperkirakan dibangun di jaman Airlangga.

Patirthan yang tidak pernah kehabisan air walau di musim kemarau. Dan sebagai air terbaik ke dua setelah zam-zam. Ada yang berpendapat Patirthan ini sebagai pemujaan pada penguasa amerta yaitu Dewa Wishnu, ada juga yang beranggapan menjadi salah satu tempat perabuan Udayana ayah Airlangga. Karena ada tertulis pada relief kata "Udayana".

Banyak bangunan purbakala ditemukan lereng-lerengnya yang angka tahunnya seputaran abad 15. Untuk gunung yang termasuk kecil, ini sangat unik dan bisa kita bayangkan bahwa benar-benar gunung ini dianggap suci sebagai tempat bertapa, bermeditasi, menyucikan batin dan tempat mencari kesejatian diri manunggaling gusti. Sebahai tempat pemujaan paradewa dan leluhur.

Setelah kebakaran hebat di tahun 2015, tim peneliti dari Ubaya Training Centre (UTC) melihat adanya jalur yang melingkar, mungkin inilah jalur kuno di jaman dulu. Lebarnya 1,5 hingga 3 meter. Bisa jadi ini dahulunya digunakan untuk para peziarah menggunakan kuda atau kereta kuda yang ingin melakukan meditasi atau sekedar membuat pemujaan di candi-candi di lerengnya hingga ke Puncak Gunung Pawitra. Artinya memang Gunung Pawitra ini adalah tempat tujuan ritual yang sakral.

Pertama kali munculnya keberadaan bangunan kuno ini pada zaman pemerintahan Hindia Belanda tahun 1900. Baru dilakukan survei secara intensif dari tahun 1935 hingga 1940 diprakarsai oleh ahli purbakala Belanda A. Gall dan W.F. Stutterheim dan tercatat 81 kepurbakalaan ditemukan. Sayangnya ini tidak diterbitkan, dan saat dinas kepurbakalaan RI melakukan pendataan ulang di tahun 1951 tidak semua bisa ditemukan kembali. Dan setelahnya baru banyak lembaga baik dari instansi pemerintah dan akademis. Dan pada pendataan terakhir pada tahun 2018 oleh UTC telah dicatat jumlahnya menjadi 131. (sumber dari buku terbitan Kementrian pendidikan dan Kebudayaan-Menepis Kabut Pawitra)

Pada tiap kejadian kebakaran akan ditemukan benda-benda kepurbakalaan yang baru dan jumlahnya pun terus bertambah. Itulah cara Pawitra menguak dirinya. Perlahan tapi pasti. Saat ini dengar-dengar Situs yang ditemukan kembali, jumlahnya mendekati 200. Tapi saya belum menemukan data terakhirnya.

Nama kuno Pawitra dalam bahasa Jawa kuno yang berakar dari sansekerta berarti "alat pembersih" keramat, suci, sebagai pembersihan jiwa, dan muncul nama Penanggungan belakangan yang dalam Bahasa Indonesia bisa berarti penderitaan, kesengsaraan atau tanggungan. (Sumber buku Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit)

Kenapa harus berubah menjadi nama Penanggungan yang berarti tanggung jawab yang terasa begitu berat? Entahlah.

Yang terpenting bahwa generasi masa muda sekarang, mengetahui dan syukur-syukur bisa ikut mempelajari apa yang telah di bangun oleh para nenek-kakek moyang kita, agar bisa turut menjaga dan melestarikan sejarah para leluhur. Maka saat berkunjung ke Gunung Pawitra ini, jagalah sikap baik itu ucapan maupun tindakan. Bawa sampahmu turun kembali, dan jaga tempat ini untuk tetap bersih. Jasmerah, jangan lupakan sejarah, agar hidup kita tetap punya makna.

Dari sisi manapun kalian memotret, akan terlihat bentuk yang sama. Itulah keunikan Gunung Pawitra ini. Yang menyimpan banyak cerita dengan segala mistis yang ada. 

Semoga semua makhluk bahagia.

Komentar