Netizen Jadi Polisi dan Penegak Hukum Virtual, Apa Itu No Viral, No Justice?
Oleh: Madeline Margareth Wibisono
Fakulitas : International Bussiness Management
Universitas Ciputra Surabaya
ASKARA - "No Viral, No Justice" telah menjadi jargon yang populer di tahun 2024. Fenomena ini menggambarkan keyakinan masyarakat bahwa viralitas suatu kasus dapat mendorong aparat penegak hukum bertindak lebih adil dan responsif dalam menangani laporan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga Indikator pada periode 22-29 September 2024 dengan 1.200 responden dari 11 provinsi besar di Indonesia melalui metode multistage random sampling, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Polri tercatat sebesar 67%, pengadilan 66%, dan Mahkamah Konstitusi 64%. Angka ini menunjukkan penurunan kepercayaan yang cukup signifikan.
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang publik di mana reputasi para pejabat hukum dipertaruhkan. Kesalahan atau tindakan yang dinilai kurang bijak dan tertangkap kamera seringkali menjadi sasaran kritik jutaan netizen. Akibatnya, viralitas menjadi syarat tidak tertulis agar keluhan masyarakat direspons maksimal oleh pihak berwenang. Fenomena ini berakar pada prinsip hukum dalam Konstitusi UUD 1945, yang menjamin hak atas kebebasan komunikasi dan penyampaian informasi, serta Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat.”
Sepanjang tahun 2024, beberapa kasus yang menjadi viral mendapat perhatian khusus dan mengalami pemeriksaan kembali karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan publik. Beberapa di antaranya adalah:
1. Kasus Kematian Vina dan Eky di Cirebon
Film Vina: Sebelum 7 Hari menjadi film terlaris kedua di tahun 2024 dengan 5,8 juta penonton. Film ini mengangkat kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi pada tahun 2016 di Cirebon, Jawa Barat, yang belum terpecahkan. Pada kasus ini, delapan tersangka divonis penjara seumur hidup berdasarkan bukti visum. Namun, sejumlah kejanggalan muncul, seperti hasil autopsi yang dipertanyakan, prosedur penangkapan tersangka sebelum pelaporan, penangkapan Pegi Setiawan, serta kesaksian palsu dari Dede. Saat ini, kasus Vina masih dalam proses sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diusulkan oleh para terpidana. Sidang PK keenam berlangsung pada Jumat, 27 September 2024, dan hasilnya masih menunggu putusan Mahkamah Agung.
2. Kasus Ronald Tannur
Gregorius Ronald Tannur menjadi tersangka dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Dini Sera, pacarnya. Kasus ini terjadi pada 4 Oktober 2023 di Lenmarc Mall, Surabaya, di mana Ronald menendang kaki korban hingga jatuh, memukul kepala korban dengan botol minuman keras, dan melindasnya dengan mobil hingga terseret sejauh lima meter. Ronald kemudian membawa korban ke apartemennya sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit. Namun, dalam sidang yang dipimpin Erintuah Damanik, Ronald dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari semua tuntutan, dengan alasan kematian korban disebabkan oleh penyakit lain, bukan luka akibat kekerasan.
Keputusan itu menuai kontroversi dan reaksi keras dari masyarakat, yang memprotes melalui media sosial dan memberikan karangan bunga sebagai sindiran kepada para hakim yang membebaskan Ronald. Akhirnya, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara lima tahun kepada Ronald setelah terbukti melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP. Saat ini, masih berlangsung penyelidikan mengenai dugaan suap dalam kasus ini, di mana salah satu tersangka, termasuk mantan pejabat MA Zarof Ricar, telah ditangkap dengan nilai suap mencapai Rp920 miliar.
Fenomena No Viral, No Justice pada akhirnya memang berdampak pada percepatan penyelesaian suatu kasus. Video atau informasi elektronik dapat dijadikan bukti hukum yang sah setelah dipastikan validitasnya oleh ahli digital forensik, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 UU ITE. Namun, masih banyak berita viral yang belum terverifikasi kebenarannya (hoaks), sehingga sebagai pengguna internet yang bijak, kita harus mampu memilah informasi yang valid dan menggunakannya sebagai media edukasi.
Komentar