Selasa, 23 April 2024 | 21:20
NEWS

Aturan Pengeras Suara Masjid yang Dikeluarkan Menag Dikritik, Nyaring!

Aturan Pengeras Suara Masjid yang Dikeluarkan Menag Dikritik, Nyaring!
Pengeras suara masjid (Dok rumah123.com)

ASKARA - Kebijakan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala mendapat kritik dari Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf. 

Menurut pandangan Bukhori, secara substansi pedoman tersebut mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat.

Pasalnya, jangkauan dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan.

“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir atau pengajian dengan suara keras melalui sepiker masjid," tutur Bukhori kepada wartawan, Selasa (22/2). 

Dikatakan Bukhori, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan.

Dengan demikian, apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang atau melemah maka akan menghilangkan kebiasaan mereka untuk mendengarkan lantunan suara dari masjid atau musala.

“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ucapnya.

Namun, Bukhori mengamini bahwa fenomena yang dianggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk di lingkungan perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan.

Dalam kondisi itu, kata Bukhori, ini, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan. 

Meski demikian, dalam mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu sampai dilakukan secara eksesif.

"Misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” ucapnya.

Sementara, terkait dengan pentingnya mendukung inisiasi masyarakat dalam mewujudkan harmoni sosial, Bukhori mencontohkan inisiatif baik yang dilakukan oleh umat Islam di Bali yang tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati Hari Raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi.

Sebaliknya, umat Hindu memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut Idul Fitri atau Idul Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas.

Bukhori menekankan, pengaturan pengeras suara tidak boleh disertai unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati. Menurutnya, bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun kepada pihak takmir.

“Kuncinya adalah menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.

Komentar